Langsung ke konten utama

Kisah tentang Horatio Spafford
It Is Well With My Soul (NKB.195. Kendati Hidupku Tentram) adalah sebuah judul hymn yang sangat terkenal bukan hanya melodi dan susunan lirik yang begitu mendalam yang menggambarkan kesungguhan iman yang dalam kepada Allah sekalipun keadaan hidup penuh dengan derita. Tetapi kisah dibalik lagu ini menjadi suatu cerita yang sungguh sangat menarik untuk disimak dan menjadi contoh bagaimana kehidupan seorang kristen yang bergumul dengan kebaikan Allah dan kenyataan hidup yang pahit.
            Horatio Spafford adalah sosok dibalik lirik lagu ini. Rangkaian kata dan makna yang dalam akan penghayatan imannya kepada Tuhan mengajarkan kita bahwa hidup mengikut Tuhan tidak menjamin kita dapat merengkuh kenikmatan hidup sebagaimana yang di dambakan oleh setiap orang.  Tetapi sekalipun demikian, bukankah Allah tetap baik karena ia menjamin jiwa kita? Kira-kira demikian Spafford menulis lirik lagu ini.

Siapakah Spafford?
Horatio Spafford adalah seorang pengusaha dan pengacara yang sukses di Amerika, tepatnya di Chicago. Ia adalah seorang yang aktif di dalam mendukung pelayanan, dan ia merupakan seorang pengikut Kristus yang taat. Ia memiliki keterikatan yang kuat di dalam mendukung pelayanan bersama sahabatnya D.L. Moody yang juga dari Chicago.
Awal mula peristiwa yang menyedihkan terjadi di kehidupan Spafford yakni pada tahun 1870 dimana ia kehilangan anak laki-lakinya yang terkena virus demam berdarah dan membuatnya begitu sedih. Setahun peristiwa duka yang ia alami itu berlalu, Spafford harus kembali diperhadapkan pada kenyataan pahit. Pada tahun 1871 terjadilah satu peristiwa bencana dahsyat yang dicatat di dalam sejarah sebagai bencana yang terbesar di abad itu yakni The Great Chicago Fire. Peristiwa kebakaran hebat yang terjadi selama 3 hari ini menewaskan ± 300 orang. Api yang tidak terpadamkan itu juga menghabiskan bangunan-bangunan elit sepanjang kurang lebih 9 km. Gedung-gedung serta perumahan Real Estate termasuk di dalamnya properti gedung dimana Spafford berinvestasipun ikut habis dilalap api yang membabi-buta.
Peristiwa ini ternyata membuat Spafford dan keluarga merasa terpukul. Terlebih khusus isterinya, Anna. Dalam beberapa tahun, Anna masih merasa terpukul dan goncang dengan peristiwa tersebut. Sehingga Pada November tahun 1873, Spafford merencanakan sebuah perjalanan untuk keluarganya yakni dia, isterinya serta ke-empat anaknya. Ia ingin membawa anggota keluarganya menikmati liburan yang dirangkaikan dengan menghadiri pelayanan D.L. Moody sahabatnya, di Eropa. Hal ini untuk menghibur hati sang Istri. Akan tetapi, ketika mereka hendak berangkat, tiba-tiba Spafford harus terbentur dengan urusan bisnis tiba-tiba yang tidak dapat ia tinggalkan. Oleh sebab itu, Spafford harus tinggal dan menyelesaikan urusannya, dengan janji ia akan menyusul beberapa hari kemudian. Sementara itu isteri dan anaknya tetap berangkat dan melanjutkan perjalanan liburan mereka menuju Eropa menggunakan kapal S.S. Ville du Havre yang berlayar menuju Perancis.
Hal yang tidak terduga terjadi, kapal yang ditumpangi Isteri dan ke-empat anak Spafford ini harus mengalami tabrakan dengan kapal cepat Skotlandia yang kemudian menenggelamkannya dalam waktu 12 menit. Kapal S.S. Ville du Havre tenggelam dan terbawa hingga ke dasar laut. Sejarah mencatat bahwa peristiwa ini menewaskan 226 penumpang termasuk ke-empat anak Spafford. Beruntungnya, isteri Spafford dapat terselamatkan dari peristiwa naas ini bersama dengan 77 orang penumpang dan kru.
Ketika kapal yang menolong korban kecelakaan kapal yang ditumpangi keluarga Spafford ini mendarat di Cardif, Wales beberapa hari kemudian, Isteri Spafford segera mengirim telegram kepada suaminya yang berisi tulisan “Saved alone” yang berarti selamat seorang diri. Ketika menerima telegram ini, Spafford bergegas berangkat menemui isterinya dengan perasaan terpukul dan hancur.
Spafford dengan segera menumpang kapal untuk menyusul isterinya yang sudah tentu dalam keadaan tergoncang secara hebat karena kehilangan sekaligus empat anak mereka. Ketika ia sedang berada di atas kapal dan memandang ke arah lautan luas, ia mulai menuliskan suatu lirik dari hasil perenungan di dalam dukanya yang mendalam, yang belakangan menjadi lagu yang begitu apik:
When peace like a river attendeth my way
(Ketika kedamaian seperti sungai hadir dalamku)
When sorrow like sea billows roll
(ketika kesedihan seperti lautan yang bergelora)
Whatever my lot Thou hast thought me to say
(Apapun keadaanku Engkau Tuhan telah mengajariku untuk berkata)
It is well it is well with my soul
(Baik-lah, Baik-lah Jiwaku)
            Perasaan Spafford tertuang di dalam lirik lagu ini yang menggambarkan imannya yang teguh terhadap Allah yang ia percayai. Apapun keadaan yang ia alami, ia yakin dan percaya bahwa di dalam Tuhan semua baik-baik saja.
            Peristiwa ini membuat Spafford tentunya bersedih. Ia harus rela kehilangan semua anak-anaknya yang masih kecil-kecil sekejap. Tetapi lirik lagu ini menggambarkan betapa ketabahan Spafford yang tetap kuat dan berserah kepada Tuhan.
            Ternyata peristiwa pahit yang di alami oleh Spafford tidak berhenti sampai disitu. Pada tahun 1878 ia dikarunai seorang anak peremupuan bernama Bertha yang sayang sekali tidak berumur panjang. Sama seperti anak pertama Spafford, Bertha harus meregang nyawa karena penyakit demam berdarah.
            Secara sosiologis, peristiwa menyedihkan yang bertubi-tubi dan di alami oleh keluarga Spafford ternyata berpengaruh buruk hingga menimbulkan keresahan dan penilaian negatif. Ia harus di asingkan, bahkan diusir dari lingkungan tempat tinggal mereka, karena mereka dianggap sebagai keluarga yang dikutuk oleh Allah. Mereka dianggap membawa petaka dan kesialan bagi masyarakat. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam hidup keluarga Spafford dan Anna, mulai dari kematian anak pertama hingga Bertha, dianggap sebagai hukuman Allah atas hidup Spafford dan isterinya. Masyarakat menolak kehadiran mereka dan mengusir keluarga ini untuk keluar dari Chicago.
            Pada akhirnya, Spafford dan isterinya meninggalkan Amerika dan pindah ke Yerusalem setelah kelahiran anak mereka pada tahun 1881. Di sana, ia tinggal dan memulai hidup yang baru bersama dengan orang-orang Amerika lainnya yang melayani Yesus Kristus dalam satu koloni yakni orang-orang kristen yang tergabung dalam Christian Philanthropic Society.

“Tuhan Mengijinkan”: Sebuah Teodisi?
            Kalau kita belajar dari hidup Spafford, seseorang yang memiliki iman percaya kepada Kristus, ia setia, memberi banyak bantuan untuk kelancaran pelayanan akan tetapi kenyataan hidup yang harus ia hadapi begitu pahit. Timbul pertanyaan, bukankah seharusnya Allah memberkati dia? Mengapa Allah membiarkan itu terjadi di dalam kehidupan seseorang yang begitu setia melayani Dia?
            Barangkali kalau hal yang dialami Spafford itu terjadi di dalam hidup orang kristen masa kini, yang sarat akan pengaruh ajaran “blessed to be blessing” yang berorientasi pada materi dan bukan kualitas iman yang tebal dalam pengenalan Allah yang benar, saya meyakini bahwa akan banyak anak-anak-Nya yang kecewa dan tidak sedikit pula yang meninggalkan-Nya.
            Bukankah Tuhan itu ada dan Tuhan itu Maha Baik? Jika Ia ada dan Ia Maha Baik, lalu mengapa ia membiarkan hal buruk terjadi dan merajalela di dalam dunia ini? Mengapa Ia membiarkan hidup saya susah? Mengapa Ia tidak peduli dengan penderitaan yang saya alami? Mengapa Ia acuh terhadap kesedihan dan kepedihan yang saya rasakan? Jika diteruskan, pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan muncul dalam spesifikasi yang bervariasi seiring dengan ketidaksampaian pemikiran kita terhadap kenyataan-kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan harapan.
            Benarkah Tuhan tidak peduli? Tidak benar! Tuhan adalah pribadi yang Maha Peduli dan memperhatikan setiap detail kehidupan umat-Nya. Orientasi berpikir manusia selalu egosentris, antroposentris (walaupun human oriented  ini dalam keadaan terntentu sangat perlu sebagai implementasi dalam bentuk praksis). Cara pandang seperti ini menilai Tuhan itu eksis bukan dari pengenalan iman yang benar, melainkan, eksistensi Tuhan -- yang kemudian dihubung-hubungkan dengan atribut-Nya -- ditentukan dengan setiap keadaan yang dialaminya. Singkatnya, jika hidupnya baik, maka Allah yang Maha baik itu ada, tetapi jika keadaan hidupnya atau sekelilingnya menderita, maka tidak mungkin Allah yang Maha Baik itu abai terhadap penderitaan. Pertanyaannya adalah siapa menentukan apa? Atau apa menentukan siapa? Eksistensi Allah ditentukan dari baik-buruknya hidup manusia. Ini adalah suatu kekeliruan besar.
            Apa dan mengapa permasalahan di dunia ini terjadi, bahwa tidak semua orang mengerti dan mengetahuinya. Jika kita berempati pada kasus Spafford, maka kita akan menemukan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. Dan terkadang usaha untuk mencari jawaban ini dapat disamakan dengan usaha menjaring angin.
            Lalu mengapa Spafford harus mengalami hal yang sedemikian buruk di dalam hidup-setianya kepada Allah? Nampaknya jawaban yang tepat adalah karena Allah mengasihi Dia. Lalu mengapa bentuk kasih Allah kepada Spafford begitu mengerikan? Tuhan mengijinkan demikian untuk alasan-alasan yang tidak dapat kita pahami. Dan sangat mungkin untuk membuat Spafford lebih kuat di dalam Tuhan (Ingat kasus Yusuf, Ayub, Habakuk?). Jawaban seperti ini dikenal sebagai Teodisi. Teodisi adalah sebuah jawaban relevan yang setidaknya memberikan ruang bagi rasio kita mengerti bagaimana Tuhan bekerja di dalam dunia ini.
            Tuhan memang bekerja di dalam cara yang begitu misterius, namun bukan berarti tidak dapat dimengerti sama sekali. Karena jika demikian maka kita mengikuti Tuhan yang asing yang tidak memiliki standar untuk menjadi legitimasi pola pengenalan akan Diri-Nya. Tetapi yang terpenting adalah bahwa di dalam setiap perkara hidup yang dialami oleh orang percaya, Tuhan senantiasa bekerja untuk mendatangkan kebaikan di dalam hidupnya (Rom.8;28). Allah itu kasih (I Yoh.4:8), tidak mungkin Ia berbuat sesuatu yang berlawanan dengan diri-Nya. Sehingga mustahil bagi kita untuk menjadikan Allah sebagai biang kerok permasalahan yang kita alami.
            Allah yang Maha Kasih itu mustahil untuk tidak mengasihi. Allah yang Maha baik itu mustahil untuk bersekutu  merancangkan kejahatan di dalam dunia. Bahkan saking Kasih-Nya, Ia mengutus Kristus, kesayangan-Nya untuk mati bagi manusia. Raja yang miskin, tersiksa, menderita, mati tetapi kemudian bangkit sebagai proklamasi kemenangan-Nya.
            Apa yang lebih mensukacitakan hidup selain pemaknaan bahwa Allah itu turut menderita bagi umat-Nya? Dapatkah kita berkata bahwa Ia tidak ada? Dapatkah kita mengatakan bahwa Allah itu membiarkan penderitaan di dunia ini? Barangkali kita menuntut Dia untuk memuaskan dahaga-dahaga keingintahuan kita untuk mengkonstruksi suatu pemahaman yang memuaskan bukan hanya rasio tetapi juga hati. Tetapi lihatlah bahwa, Iman adalah kunci dari pintu-pintu yang terbuka dan menuntut untuk diisi itu.
            Belajar dari Spafford, bahwa sekalipun binasa hidup kita, dan bahkan pertanyaan-pertanyaan bergelora seperti gelombang yang hendak menghujam penasaran akal kita, iman kepada Kristus yang menderita menjadi alternatif jawaban yang tepat, utama, dan bersifat kekal. It is well with my soul karena Allah adalah jaminan -- yang kekal dan utama.


Tuhan selalu ada di dalam setiap musim hidup kita. Apapun keadaan kita hari ini, bersyukurlah untuk Anugerah keselamatan kekal yang sudah kita terima. Ingatlah, ketika kita menderita bahwa Kristus juga ikut merasakan penderitaan kita yang sudah Ia bayar di atas Salib yang tua dan kasar itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Di Balik Lagu KJ. 401 "Makin Dekat Tuhan"

Images Source: https://img.discogs.com  Penggubah & Latar Belakang            Tentu sebagian besar kita tidak asing dengan sebuah film romansa yang diangkat dari sebuah kisah  nyata yang terjadi pada tahun 1912 yakni Titanic. Film ini menceritakan tentang  sebuah kapal yang karam disebabkan oleh benturan hebat antara kapal dan gunung es, yang kemudian memakan korban yang tidak sedikit. Adegan demi adegan di dalam film ini mencoba menggambarkan kembali detil setiap kejadian di masa itu sehingga penonton ikut larut dan merasakan betapa peristiwa itu begitu dahsyat nan mengerikan.             Tulisan ini tidak membahas mengenai jalan cerita film di atas, melainkan ada satu yang menarik dalam film karya sutradara kondang James Cameroon ini, yakni adegan di mana grup musik kapal itu tetap memainkan lagu-lagu mereka dengan profesional di tengah kepanikan penumpang yang tengah terancam nyawanya. Salah satunya adalah hymn “ Nearer my God to Thee ” atau di dalam Kidung Jemaat

Elia Nabi Yang Setia

Pendahuluan             Cerita mengenai nabi-nabi di dalam Alkitab barangkali bukan menjadi sesuatu yang asing di telinga orang Kristen. Sejak kecil pengajaran di Sekolah Minggu telah mengajarkan anak-anak mengenai kisah heroik para nabi dalam membawa bangsa Israel dengan segala mukjizat yang dilakukan seperti Musa yang membelah laut merah, atau Yosua dengan tentaranya meruntuhkan tembok Yerikho.             Salah satu ialah Elia, yang merupakan  satu dari sekian banyak nabi yang diceritakan di dalam Alkitab yang menggambarkan bagaimana Allah memakai manusia untuk menjadi “penyambung lidah-Nya” dalam berbicara kepada manusia dan menyatakan kehendak-Nya. Elia merupakan salah satu nabi yang dipakai Allah secara luar biasa untuk berbicara kepada umat Israel bahkan bukan hanya berbicara dalam bentuk peringatan, akan tetapi Elia juga bertindak melakukan nubuat dengan bukti karena keyakinannya terhadap suara Allah dan kehendak Allah. Elia melakukan mujizat-mujizat. Ia tiba-tiba muncul

Pengalaman ke "Gereja Diskotik"

Add caption Beberapa waktu yang lalu, di hari minggu, saya di ajak pergi bersama beberapa orang teman ke sebuah Gereja yang terletak di sebuah Mall di Bandung. Sebelumnya saya memang belum pernah ke gereja ini, menurut teman-teman saya ini gereja yang ini termasuk bagus dalam pujian dan penyembahannya (dalam hal ini berarti Gereja Karismatik), hal ini membuat saya tertarik ingin beribadah disitu, lagian belum pernah kesitu juga. Ketika kami memasuki Mall tersebut, kami mengantri di depan Lift dengan berjubelnya manusia yang hendak pergi ke gereja yang sama ternyata, sebab tentunya saya tahu dari cara berpakaian mereka dan kebanyakan dari satu jenis ras yang sama berkulit putih bermata agak sipit, lagian masih terlalu pagi juga untuk orang biasa mengunjungi mall yang masih belum buka jam segitu. Ketika lift mencapai lantai dasar, kami berlima memasuki lift yang berkapasitas hanya 12 orang tersebut, menaiki lift menuju lantai 5. Ketika pintu lift dibuka dari dalam Gereja terdengar