Ketika saya sedang mempersiapkan khotbah untuk tugas Mata Kuliah
Homiletika, saya membuka dan membaca kitab Mazmur, saya pribadi menganggap
bahwa kitab ini merupakan tulisan yang dapat dikatakan sebagai sastra kuno yang
sarat makna. Salah satunya ketika mata saya tertuju pada satu bagian di
dalamnya. Ada hal menarik yang muncul ketika saya membaca Mazmur 73. Mazmur ini
bercerita tentang bagaimana perjuangan seorang Asaf di dalam menghadapi
pergumulan hidupnya. Kalau boleh dikata, sebenarnya Asaf mengalami satu
kekeringan mendalam di dalam pergulatan spiritualitasnya yang kaku. Mengapa
demikian? padahal jika kita lihat bahwa hidup Asaf tidak pernah bercela
dihadapan Tuhan, dan selalu melakukan hal yang baik dan berkenan bagi Allah.
Akan tetapi ini tidak menjamin hubungan harmonis antara Asaf dan Allah. Maka hal
inilah yang menarik bagi saya untuk bisa membagikannya dalam tulisan ini.
Mazmur ini di tulis dengan pendahuluan sebagai Mazmur Asaf. Siapakah
sesungguhnya Asaf? Kalau kita membaca di dalam 1 Tawarikh 16:4, kita dapat
menemukan kisah mengenai Asaf. Singkat cerita, Asaf merupakan orang keturunan
suku Lewi yang diangkat oleh Raja Daud menjadi pucuk pimpinan pemusik di Istana
Daud. Bani Asaf merupakan keluarga pemusik bangsa Yahudi. Asaf diangkat Daud
menjadi pemimpin pemusik, pemimpin puji-pujian atas bangsa Yahudi. Jadi dapat
kita simpulkan bahwa Asaf merupakan seorang musisi kenamaan Israel. Jelas bahwa
menjadi seorang musisi kenamaan di dalam istana Daud bukanlah orang yang
sembarangan, dalam arti, pasti Ia dipilih selain karena memiliki kapabilitas
yang cukup baik dalam bermusik tentulah ia juga memiliki kepribadian yang cukup
baik, terutama perbuatannya harus mencerminkan ketaatan terhadap hukum taurat
yang pada waktu itu berlaku dengan ketat sebagai syarat keagamaan yang baik
dalam bangsa Israel. Orang-orang yang dipilih Daud bukanlah orang yang
sembarangan, sebab setiap orang yang mengambil bagian dalam pelayanan di bait
suci maupun di istana untuk melayani Tuhan haruslah orang-orang yang mampu
untuk menjaga kesucian hidup mereka, atau hidup kudus dihadapan Allah dengan
memelihara hukum Taurat, sebab Allah tidak berkenan atas kenajisan dan
ketidakkudusan. Ini sudah menjadi tradisi Yahudi yang dipegang erat sebagai
konsep keagamaan mereka.
Apa yang dapat kita lihat dan pelajari dari Asaf? Sebenarnya tulisan
ini hendak membagikan suatu kenyataan bagi kita bahwa orang seperti Asaf yang
kelihatannya tumbuh dengan kerohanian yang baik justru mengalami suatu “musim
kemarau” dalam hidupnya. Ia mengalami ketandusan
spiritual yang justru membawa dia ke dalam situasi yang hampir berbalik dari
Allah.
Kalau kita melihat di dalam Mazmur ini, Asaf memulai syairnya dengan
mengatakan kredonya terhadap Allah yang dipercayainya (ayat 1) “Sesungguhnya
Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih
hatinya”. Di dalam pengakuannya ini, Asaf mempunyai paradigma bahwa Allah yang
selama ini di sembahnya merupakan Allah yang baik bagi mereka yang bersih hatinya, atau di dalam bahasa aslinya
“kepada Israel” karena Israel di anggap sebagai umat Allah, yang di akui Allah,
bangsa pilihan yang dikhusukan untuk menyembah kepada Allah yang Maha Kudus
sehingga dalam hal ini Israel haruslah bangsa yang bersih hatinya.
Sebenarnya kalau kita mau memperhatikan di dalam pernyataan ini, Asaf
sedang mengagungkan ekslusifitas Israel atas “God Prevails” terhadap mereka.
Tidak ada yang salah di dalam pernyataan Asaf ini sebab paradigma yang
terbangun di dalam diri Asaf mengenai Allah memang demikian adanya, bahkan
secara umum orang Yahudi berpandangan demikian. ini adalah suatu pernyataan
iman yang berdasar pada paradigma mengenai Allah yang baik terhadap mereka yang
menjaga kemurnian hatinya. Ini adalah puncak keyakinan seorang Asaf terhadap
Allah.
Akan tetapi yang menjadi salah
adalah ketika Ia mulai meihat bahwa kredonya seakan-akan menjadi kabur dengan
ketidakselarasan antara apa yang ia pikirkan mengenai Allah dan kenyataan yang
ia dapati di lapangan. Mengapa demikian? ayat 2 menjelaskan bahwa Asaf hampir
menjadi murtad. Pertanyaan besar yang muncul adalah: Mengapa di tengah-tengah
pemahamannya yang ketat terhadap providensia Allah tersebut, justru ia mau
murtad, apa yang membuat ia mau menyangkali kredonya? “Sedikit lagi maka kakiku terpeleset , nyaris aku tergelincir”. Ini
menunjukan betapa ia berada di ujung tanduk kepercayaannya dan kesetiaannya
terhadap Allah.
Ayat 3 sampai ayat ke 10 menjawab pertanyaan besar di atas yang
merupakan alasan mengapa Asaf – seorang
yang ber”kerohanian” baik itu – mau bertindak berbalik arah dari percaya
menjadi murtad? Faktor utamanya ialah ia melihat keberuntungan orang-orang
Fasik. Ia menjelaskan secara panjang lebar mengenai pokok permasalahannya
mengenai ketidakpuasannya terhadap orang fasik yang mengalami suatu
keberuntungan hidup di dunia dan menikmati segala yang ada bahkan secara fisik
mereka lebih baik dan sehat dari Asaf – yang notabene adalah orang yang bersih
hatinya – lebih baik secara kejiwaan tidak mengalami kesusahan manusia dan
bahkan berhasil menarik perhatian orang banyak dan menjadi sama dengan mereka
(ayat 10).
Asaf menjadi iri hati
terhadap orang fasik. Permasalahannya jelas sekarang, bahwa inti dari
permaslahan Asaf adalah Iri Hati. Ia merasa cemburu dengan apa yang terjadi
pada kehidupan orang-orang fasik. Ia melihat bahwa kehidupan orang fasik, yang
dalam hal ini dianggapnya sebagai orang yang tidak bersih dan tulus hatinya,
memiliki kehidupan yang lebih baik dari pada dirinya. Ia mengaku kecemburuannya
dalam ayat 3. Puncaknya adalah yang ditulis dalam ayat ke 11, “Dan mereka
(orang fasik) berkata: “Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada
Yang Mahatinggi?”. Di dalam hal ini, ia menganggap bahwa orang fasik menghujat
Allah dengan mengatakan bahwa “Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan
pada Allah yang Mahatinggi?” ia menggambarkan bahwa orang fasik selalu meragukan
Allah, dan ini merupakan sebuah penghujatan terhadap Allah Israel. Walaupun
demikian, orang fasik lebih baik hidupnya dari hidup yang dialami oleh Asaf.
Menjadi iri hati seharusnya tidak terjadi kepada Asaf jika ia menyadari
bahwa kredo awalnya merupakan sesuatu yang ia imani. Jika ia mengerti bahwa
Allah itu baik bagi semua orang yang bersih hatinya, maka seharusnya ia yakin
bahwa Allah baik bagi dirinya. Akan tetapi keadaan yang terjadi sebaliknya,
justru ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang fasik yang
dinilainya tidak menjaga kemurnian hati.
Mengapa Asaf menjadi iri hati dan membanding-bandingkan keadaan
hidupnya dengan orang Fasik? Karena konsep pengenalan Asaf dalam hubungannya dengan Allah tidak tepat.
Mengapa tidak tepat? Asaf mempunyai konsep hidup “agama” dalam hidupnya, dimana
ketika Ia berhasil melakukan apa yang Allah perintah, maka Allah akan
memberinya upah sesuai dengan yang ia kerjakan. Ini disebut sebagai prestasi
demi prestise. Ia melakukan kewajiban agama sebaik mungkin, agar supaya ia
dilihat sebagai orang yang bersih hatinya dihadapan Allah dan bahwa ia berhak
mendapatkan janji Allah bagi orang yang berhasil menjaga kemurnian hatinya. Ini
bukan merupakan hubungan yang sehat di dalam kerohanian. Sebab ia akan menganggap
hubungan dengan Tuhan hanya seperti hubungan timbal balik.
Apakah hubungan seperti ini adalah hubungan yang sehat? Tentu tidak. Seringkali
manusia menganggap bahwa hubungannya dengan Allah tak lebih dari sekedar
hubungan dagang. Saya membayar, Allah memberi. Bagi saya ini sebuah kengerian
tatkala kita mempunyai konsep relasi seperti ini. Sebuah relasi yang dibangun
atas dasar saling menguntungkan. Asaf merasa bahwa ia telah “membayar” Allah,
sehingga konsekuensi logisnya adalah seharusnya dia mendapatkan apa yang ia
telah bayar. Bukankah ini adalah suatu yang ngeri? Main hitung-hitungan dengan
Allah. Orang-orang seperti ini membangun sebuah hubungan legalistik dengan
Allah. Ketika mereka berhasil menjalankan kehidupan agamanya mereka menuntut
Allah untuk memberikan yang terbaik bagi mereka atas prestasi gemilang mereka.
Mereka merasa layak untuk mendapatkan Kasih Allah. Dampak buruknya adalah,
ketika mereka berhasil melakukan semua aturan agamanya dengan baik dan menjauhi
dosa, akan tetapi Allah tidak bertindak sesuai dengan yang mereka harapkan,
maka disinilah mereka mulai mengeluhkan dan bahkan dapat menuntut Allah. Hubungan
seperti ini bukan suatu relasi personal yg sehat, melainkan legalistik, dan dampak
buruknya adalah ketika situasi yang terjadi
tidak seperti yang diharapkan, maka manusia akan mudah kecewa dan meninggalkan
Allah.
Kalau kehidupan kerohanian kita kita dasarkan pada hubungan seperti
ini, maka yang akan di dapatkan adalah kekecewaan demi kekecewaan. Seandainya,
jika Allah menuruti kemauan Asaf di dalam kehendaknya, apakah ia akan mempertahankan
hatinya yang bersih? Apakah ia akan membasuh tangan tanda tak bersalah? Bukan jaminan
juga bahwa ia tidak akan meninggalkan Allah.
Barangkali pergumulan Asaf
merupakan pergumulan yang dapat di alami siapa saja. Krisis rohani yang dialami
Asaf bersumber dari iri hati melihat kesuksesan orang lain. Melihat orang lain
lebih beruntung dari pada dirinya yang sudah melakukan kehendak dan perintah
Tuhan dengan mati-matian. Iri hati merupakan permasalahan kemanusiaan yang
bersumber dari hati yang tidak bersih, dan konsep diri yang tidak tepat. Hati yang
bersih haruslah diuji oleh Allah sendiri (Ams 16:2), dan bagaimana manusia
menemukan konsep diri haruslah mengacu
kepada apa yang Allah katakan mengenai manusia, ketika Ia menciptakan manusia
ia berkata bahwa “sungguh amat baik”, apa yang manusia miliki sebagai ciptaan
Allah yang Sungguh amat baik sudahlah terlalu cukup untuk tidak membanding-bandingkan
dirinya dengan orang lain.
Sesungguhnya permasalahan ini
dijawab pula oleh Asaf ketika ia menjalin sebuah relasi yang erat dengan Tuhan
secara Pribadi. (ayat 17). Prinsip yang dapat dicontoh dari Asaf adalah,
sekalipun ia merasa kecewa dengan Tuhan, tetapi ia tidak pernah meninggalkan
Tuhan, bahkan mencari jawaban kepada Tuhan saja.
Relasi yang personal dengan
Tuhan akan membawa orang mengerti kehendak dan keinginan Allah terhadap dirinya.
Ketika masalah datang menghampiri dirinya, ia semakin mendekatkan diri kepada
Tuhan, bukannya malah pergi mencari jawaban ke tempat lain. Pertemuan diri Asaf
dengan Allah ia dapatkan ketika ia mau mendekatkan diri mencari Allah dalam
bait-Nya. Terjadi suatu transformasi kerohanian di dalam diri Asaf yang drastis,
jika di awal ia merasa iri dengan orang fasik dan kehidupan mereka menjadi
standar menilai hidupnya, maka ketika ia
berada dekat Allah, ia menjawab di ayat 25, bahwa hanya Allah yang ia inginkan
di bumi, tidak ada yang lain.
Setiap umat Allah seharusnya
mengalami Allah melalui sebuah transformasi spiritual yang didapatkan dari
membangun relasi yang erat dengan Allah. Sehingga pikiran dan perasaan
diarahkan kepada ALLAH Saja. Perjalanan spiritual seseorang akan menentukan
bagaimana ia menemukan Allah bekerja di dalam hidupnya. Seperti Asaf, dengan
perjalanan panjangnya, ia menemukan bahwa ternyata Allah adalah kesukaannya
ketika ia membangun hubungan personal dengan Allah, ia mengalami Allah, ia tahu
bahwa segala sesuatu ada di dalam kendali Allah, maka tidak ada lagi yang dapat
mengganggu pikirannya karena ia mengerti konsep dirinya dengan baik (ayat
21-24). Satu pelajaran berharga dari Asaf bahwa, pencobaan yang Allah izinkan
terjadi memurnikan umat-Nya untuk semakin bertumbuh di dalam kerohaniannya dan
menyadari bahwa segala kendali ada di tangan Allah.
Luar biasa.......
BalasHapusAmin...puji Tuhan
BalasHapus