Langsung ke konten utama

The Necessity of Philosophy in Theology




Tulisan ini sebenarnya hanya merupakan sebuah tulisan reflektif pengembangan  mengenai mata Kuliah Pengantar Filsafat dalam salah satu tatap muka di kelas. 
Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa dan bagaimana Filsafat itu berperan dalam Teologia menjadi isu hangat yang diperbincangkan dalam sebuah diskusi di kelas. Perbincangan mengenai hal ini menjadi sesuatu hal yang menarik yang menimbulkan perdebatan panjang yang seakan tak ada habisnya.
            Berangkat dari sebuah pertanyaan yang  berbunyi demikian : “Apa hubungan Teologi dan Filsafat?”. Hubungan antara Teologi dan filsafat nyaris menjadi perdebatan sepanjang abad bahkan menjadi sebuah ketegangan ketika kedua kelompok penganut masing-masing paham tidak mencapai titik temu yang terus menerus berlangsung. Perdebatan ini sebenarnya perdebatan klasik yang seakan tidak mencapai suatu kesepakatan. Teologi purba sebenarnya mengaitkan hubungan filsafat dan Teologi jauh sebelum adanya Aquinas – dimana Aquinas adalah seorang yang paling terkenal menghubungkan Filsafat dan Teologia pada zamannya yang terkenal hingga saat ini – Ketika  bapa gereja mula-mula yang bernama Tertulianus mengajukan sebuah pertanyaan yang hingga kini masih menjadi jargon atau bahkan dianggap sebagai peringatan  dalam membicarakan filsafat dan Teologi: “Apa urusan Athena dan Yerusalem”?
            Pertanyaan Tertullianus di atas mempertanyakan hubungan antara Athena dan Yerusalem. Athena di anggap merupakan “tempat lahirnya” Filsafat dan Yerusalem dianggap merupakan “Tempat lahir” Teologi Kristen sehingga secara retorikal pertanyaan ini memberi kesan apa urusanya filsafat terhadap Teologi? Pandangan lainnya yang sering diambil oleh orang-orang pada umumnya adalah pernyataan Marthin Luther terhadap filsafat yang memberi penekanan makna bahwa teologi bisa tanpa filsafat, dan seseorang bisa menjadi teolog tanpa filsafat.
            Tapi sesungguhnya memang yang menjadi pertanyaan bahwa apakah benar demikian adanya? Perdebatan terus berlangsung.
            Ada kurang lebih lima pandangan secara umum mengenai hubungan Filsafat dan Theologi.
1.      Segregasi antara Filsafat dan Teologi
2.      Philosophiae ancilla Theologiae
3.      Theologiae ancilla Philosophiae
4.      Sintesis Antara Filsafat dan Teologi
5.      Theologi bisa Kompatibel dengan Filsafat
Setidaknya lima pandangan inilah yang dapat mewakili pemahaman manusia mengenai hubungan antara filsafat dan teologi.
Ketegangan antara wahyu dan rasio ini menjadi sejarah perdebatan panjang di antara para teolog dan filsuf. Tentunya pandangan diatas pun lahir seiring dengan perjalanan perubahan paradigma serta pemikiran dalam melihat dua hal yang sama-sama berasal dari Allah ini. Hanya saja rasio dan wahyu di pandang secara paradoks sehingga menimbulkan aksioma-aksioma bagi masing-masing pihak. Masing-masing pembenaran yang diberikan oleh kedua belah pihak menjadikan hubungan dan filsafat berada pada segregasi antar keduanya. Bagi sebagian orang Kristen (bahkan seorang teolog) filsafat dianggap tidak bisa berpadanan dengan teologi sebab presuposisi mereka bahwa filsafat merupakan hikmat dari dunia, berdasarkan perkataan Paulus di dalam surat Kolose 2:8, yang menghimbau supaya berhati-hati terhadap filsafat kosong   orang-orang dunia, dan bahkan mengambil contoh teguran Paulus terhadap kesombongan orang-orang Korintus yang dikatakan telah disesatkan oleh hikmat dunia.

Sebenarnya setiap manusia itu diciptakan lengkap dengan hikmat yang merupakan anugerah Allah. Inilah mengapa manusia dikatakan sebagai mahkluk pemikir sampai samai August Rhodam menciptakan patung yang menggambarkan manusia yang kelihatannnya sedang berpikir keras  dan patung ini menjadi lambang atau simbol filsafat. Manusia diberikan akal, rasio untuk bisa berpikir. Filsafat itu lahir dari refleksi mendalam manusia yang menggunakan akal serta rasionya untuk mencari  hakikat hidupnya atau setidaknya memikirkan realitas dalam kehidupan. Inilah yang dikatakan oleh rasul Paulus bahwa manusia mencari hikmat. Ini merupakan suatu kewajaran natur manusia dimana Allah menciptakan manusia dilengkapi dengan logos spermatikos,   yang merupakan bibit ilahi, dimana ini yang mendasari manusia untuk mencari penyebab yang mendasari segala sesuatu di dunia, yang menurut Thales adalah Air, atau yang menurut Anaximander itu adalah sesuatu realitas yang tidak terbatas, atau menurut Plato sebagai dunia ide. Dengan ini  Maka lahirlah Agama, sebagai bentuk ketakutan dalam jiwa manusia. Manusia juga dilengkapi dengan akal, yang membuat manusia itu dapat berpikir mengenai mengenai fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan, mengapa ada ini, mengapa terjadi itu, bagaimana itu dapat terjadi dan lain sebagainya maka lahirlah pemikir-pemikir seperti Socrates,  Plato, Aristoteles dan lainnya.
Telah kita ketahui bahwa hakikat atau karateristik filsafat itu adalah menyelidiki realitas fundamental dari apa yang telihat sampai pada pencarian hakekat esensial serta mencari prinsip yang berlaku secara universal. Kerja filsafat adalah mempertanyakan segala sesuatu yang nampak bahkan diluar itu (metafisik). Dan filsafat merupakan produk dari akal budi manusia, Maka itu sebenarnya adalah suatu keharusan bagi manusia untuk melakukan refleksi filosofis. Manusia seharusnya bertanggung jawab sebagai mahkluk rasional di dalam memikirkan segala sesuatu melalui apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada dirinya. Refleksi filosofis sebagai suatu keharusan.

Di dalam teologi, diperlukan juga refleksi filosofis. Tugas refleksi ini bersifat kritis, untuk menguji kembali dasar-dasar dari sistem teologi itu serta menguji kembali sistem yang dipercayai selama ini. Dan melalui refleksi filosofis yang kritis artinya diuji secara konsisten, koheren, kongruen dan juga secara komprehensif bukan hanya bagian-bagian yang dianggap perlu untuk di kaji, sebab berbicara teologi harus secara konsisten dalam sistem pemikirannya, dan saling koheren atau berhubungan, melekat antar satu dengan yang lainya, tidak melompat-lompat. Teologi adalah sebuah keutuhan. Oleh karena itu maka Inilah sebuah “the necessity of philosophi in theologia” atau dengan kata lain kemestian filsafat di dalam Teologi. Dari sini dapat kita lihat bahwa ada hubungan yang erat antara filsafat dan theologi.

Kemudian muncullah sebuah pertanyaan, bagaimana kedudukan filsafat di dalam teologi atau apakah teologi membutuhkan filsafat? Dalam hal ini teologi seharusnya membutuhkan filsafat di dalam pengertian, filsafat dipakai sebagai instrumen yang membantu untuk berpikir secara sistematis dan kritis seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Filsafat sebagai “alat” untuk bertanya, mengemukakan pertanyaan untuk menguji proposisi-proposisi teologi yang selama ini di asumsikan sebagai kebenaran. Filsafat menyumbangkan kerja akal budi di dalam membahasakan iman dan iman lah yang menuntun akal budi untuk menerangkannya, atau seperti yang sering di istilahkan bahwa iman itu sebenarnya akal yang diperluas atau “extended reason”. Iman menuntun akal budi untuk menjelaskan mengenai segala realitas yang tidak dapat dijangkau oleh penalaran rasio manusia semata.
Hubungan filsafat dalam teologi juga dapat membantu menjadi alat bagi kriteria pertimbangan penalaran dan refleksi filosofis yaitu secara konsisten dalam sistem penalaran, tidak berkontradiksi dalam teori-teori dan proposisinya, kemudian koheren, saling melekat satu dengan lainya bahkan harus saling menunjang dalam kebenarannya, kongruen atau sesuai dengan kenyataan sehari-hari yang diteliti, dan korespondens dalam artian dapat menjawab segala bidang permasalahan.

Filsafat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk memperdalam pengetahuan yang kita miliki, ia menguji argumen-argumen yang disampaikan. Dalam hal ini filsafat menjadi alat yang dapat kompatibel dengan teologi. Akan tetapi bukan berarti teologi tanpa filsafat adalah buta, sebab sejatinya iman menjelaskan banyak hal yang melebihi akal budi semata. Dalam hal ini, filsafat berguna dalam penjelasan sistematis di dalam teologi untuk melihat teologi sebagai wahyu Allah yang penuh dengan misteri. Justru di dalam perspektif iman Kristen, filsafat tanpa teologi tampaknya tidak akan pernah menemukan jawaban kebenaran dan tersesat di dalam dunia pemikirannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Di Balik Lagu KJ. 401 "Makin Dekat Tuhan"

Images Source: https://img.discogs.com  Penggubah & Latar Belakang            Tentu sebagian besar kita tidak asing dengan sebuah film romansa yang diangkat dari sebuah kisah  nyata yang terjadi pada tahun 1912 yakni Titanic. Film ini menceritakan tentang  sebuah kapal yang karam disebabkan oleh benturan hebat antara kapal dan gunung es, yang kemudian memakan korban yang tidak sedikit. Adegan demi adegan di dalam film ini mencoba menggambarkan kembali detil setiap kejadian di masa itu sehingga penonton ikut larut dan merasakan betapa peristiwa itu begitu dahsyat nan mengerikan.             Tulisan ini tidak membahas mengenai jalan cerita film di atas, melainkan ada satu yang menarik dalam film karya sutradara kondang James Cameroon ini, yakni adegan di mana grup musik kapal itu tetap memainkan lagu-lagu mereka dengan profesional di tengah kepanikan penumpang yang tengah terancam nyawanya. Salah satunya adalah hymn “ Nearer my God to Thee ” atau di dalam Kidung Jemaat

Elia Nabi Yang Setia

Pendahuluan             Cerita mengenai nabi-nabi di dalam Alkitab barangkali bukan menjadi sesuatu yang asing di telinga orang Kristen. Sejak kecil pengajaran di Sekolah Minggu telah mengajarkan anak-anak mengenai kisah heroik para nabi dalam membawa bangsa Israel dengan segala mukjizat yang dilakukan seperti Musa yang membelah laut merah, atau Yosua dengan tentaranya meruntuhkan tembok Yerikho.             Salah satu ialah Elia, yang merupakan  satu dari sekian banyak nabi yang diceritakan di dalam Alkitab yang menggambarkan bagaimana Allah memakai manusia untuk menjadi “penyambung lidah-Nya” dalam berbicara kepada manusia dan menyatakan kehendak-Nya. Elia merupakan salah satu nabi yang dipakai Allah secara luar biasa untuk berbicara kepada umat Israel bahkan bukan hanya berbicara dalam bentuk peringatan, akan tetapi Elia juga bertindak melakukan nubuat dengan bukti karena keyakinannya terhadap suara Allah dan kehendak Allah. Elia melakukan mujizat-mujizat. Ia tiba-tiba muncul

Paper Allah Tritunggal

PENDAHU LUAN             Tritunggal merupakan suatu istilah populer dalam kekristenan dan merupakan salah satu ajaran fundamental dalam agama Kristen. Doktrin ini lahir dari perumusan bapa-bapa gereja mula-mula dengan presuposisi dasar dalam melihat Alkitab sebagai pengenalan akan Allah yang telah menyatakan diriNya secara khusus melalui Firman-Nya dan bahwa Allah mengkomunikasikan diriNya secara cukup bagi manusia untuk mengenal Allah yang sesungguhhnya sehingga manusia dapat menjadi bijak dan menuntun  menuju keselamatan. [1] Dari pemahaman dasar inilah mereka melihat dan merumuskan bahwa Allah hadir dan menyatakan diriNya  dalam wujud Allah Tritunggal.             Namun dalam perjalanannya tentu saja hasil dari perumusan ini tidak sepenuhnya diterima dengan tangan terbuka oleh sebagian kalangan. Hantaman kritikan dari berbagai teolog-teolog yang kontra dan tidak sejalan dengan pengajaran ini di zamannya berusaha untuk meruntuhkan dan membuat pengajaran baru. Salah satu dianta