Dalam kehidupan orang percaya,
tentunya berbagai macam problema dan masalah moral dan etis pasti datang menghampiri, entah itu yang baik
atau yang tidak baik, bahkan yang buruk
sekalipun. ketika kita diperhadapkan dalam situasi yang seperti ini tentunya
kita harus mengambil keputusan-keputusan yang bersinggungan dengan etika yang
juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral demi hasil yang baik dan benar
dan tidak hanya berlaku sepihak serta berpadanan dengan Hukum Allah.
Sebagai contoh, seseorang yang
menderita sebuah penyakit akut bertahun-tahun dan tidak ada kemungkinan untuk
sembuh, karena hidupnya bergantung pada bantuan alat-alat medis yang canggih
untuk menopang kelangsungan kehidupan orang tersebut.membuat keluarga dan orang-orang
disekitarnya diperhadapkan dengan dilema. Dampak lain
yang ditimbulkan adalah permasalahan ekonomi keluarga orang tersebut yang
semakin hari-semakin mengalami penyusutan akibat biaya medis yang begitu mahal.
Dari kasus seperti ini, apa yang kira-kira hendak kita lakukan dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam menghadapi situasi ini? Penulis mencoba memaparkan satu bahasan
yang mungkin sebagian kita, belum bahkan sudah pernah mendengarkannya, yaitu Euthanasia.
Euthanasia adalah suatu cara dalam
dunia medis yang akhir-akhir ini mulai sering terdengar dikalangan masyarakat.
Beberapa negara di dunia telah melegalkan cara ini dalam mengatasi berbagai
masalah baik itu dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, meringankan beban
seseorang atau kelompok dalam penderitaan karena sakit, ataupun dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang yang sakit parah, karena di anggap tidak ada
harapan untuk hidup.
Tulisan ini mencoba
memaparkan bagaimana kekristenan melihat
euthanasia dari perspektif etika kristen.
EUTHANASIA
a. Etimologi
Euthanasia berasal dari bahasa
Yunani yaitu Eu, yang berarti baik
atau indah dan Thanatos yang berarti
maut, mati, atau kematian sehingga euthanasia bisa di artikan: Mati dengan
baik, mati dengan indah, atau kematian yang indah. Kata euthanasia sendiri pertama
kali digunakan oleh Hippokrates[1] dalam “Sumpah Hippokrates”
(Hippocratic Oath) pada sekitar tahun 400 SM. Tetapi perkataan ini pada zaman
sekarang mempunyai arti yang lain sekali yaitu Mercy Killing (membunuh dengan
alasan belas kasihan)[2].Euthanasia merupakan praktek
pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang di anggap tidak
menimbulkan rasa sakit (rasa sakit yang minimal) atau penderitaan yang hebat,
sehingga dianggap sebagai suatu kematian yang membahagiakan dan pergi dengan
baik atau damai.
Dalam prakteknya biasanya euthanasia
dilakukan dengan cara menyuntikan zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien,
atau mencabut dan menghentikan alat-alat penunjang kehidupan bagi pasien yang
berada dalam keadaan koma dan tidak sadarkan diri agar mempercepat proses
kematian orang tersebut. Apapun artinya, praktek dari Euthanasia sendiri
menurut penulis tidak seindah dan sebagus artinya karena melakukan hal-hal yang
menuju kearah kematian.
b. Jenis-Jenis Euthanasia
Bila ditinjau dari pelaksanaannya,
maka euthanasia dibagi menjadi tiga kategori:
1. Euthanasia Aktif (Agresif)
Merupakan
cara Euthanasia yang dilakukan oleh seseorang entah itu Dokter atau tenaga
medis lainnya dengan cara sengaja
melakukan suatu tindakan untuk menghentikan atau memperpendek (mengakhiri)
hidup pasien. Euthanasia Aktif ada dua cara:
yang pertama Dokter atau tenaga medis yang mengambil tindakan mematikan.
Misalnya dengan memberi suntikan atau senyawa lain yang mematikan, biasanya
cairan atau senyawa yang disuntikan adalah cairan sianida. Kedua, dokter atau
tenaga medis hanya memberikan resep obat yang mematikan dalam dosis yang sangat
besar. Jenis Euthanasia ini disebut juga dengan istilah “Bunuh diri
berbantuan”.
2. Euthanasia Otomatis (non Agresif)
Jenis
euthanasia ini adalah suatu kondisi ketika seorang pasien menolak secara tegas
dan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya tersebut justru akan
memperpendek atau bahkan segera mengakhiri hidupnya.Penolakan ini harus
diajukan secara resmi, baik itu persetujuan diri pasien, persetujuan keluarga
dan persetujuan secara hukum.Pengajuan euthanasia ini harus diajukan dengan
membuat sebuah codicil (surat
pernyataan) sehingga tidak ada tuntutan apapun di kemudian hari apabila terjadi
suatu keberatan-keberatan.
Negara
Swiss merupakan salah satu negara yang melegalkan praktek euthanasia seperti
ini.Bagi beberapa negara di dunia termasuk Indonesia bentuk euthanasia seperti
ini masih merupakan problema, apalagi bagi para dokter masalah moral ini masih
menjadi sebuah dilema yang menantang sumpah kedokteran secara universal.[3]
3. Eutanasia Pasif
Euthanasia
pasif atau yang biasanya juga disebut sebagai euthanasia negatif. Euthanasia pasif dibagi ke dalam dua
bagian, yaitu euthanasia pasif yang tidak wajar dan euthanasia pasif wajar. Euthanasia pasif yang tidak wajar
merupakan bentuk euthanasia yang membiarkan kematian terjadi dengan melepaskan
alat-alat bantuan medis yang vital seperti oksigen, atau suplai nutrisi cairan
makanan, untuk menunjang keberlangsungan kehidupan agar kematian pasien terjadi
dengan sendirinya. Sebaliknya euthanasia pasif yang wajar adalah suatu bentuk
euthanasia pasif yang mengijinkan kematian terjadi dengan melepaskan alat-alat
bantuan medis seperti alat bantu ginjal, pernafaan buatan,atau jantung buatan. Menurut
Norman L. Geisler, euthanasia pasif yang wajar adalah euthanasia pasif yang
meninggalkan alat pendukung hidup yang tidak wajar[4].
c. Pandangan
Masyarakat Terhadap Euthanasia
Geisler berkata bahwa
perdebatan
tentang euthanasia pada dasarnya merupakan suatu perselisihan tentang
pandangan-pandangan dunia.[5] Euthanasia
memang merupakan tindakan yang masih menjadi perdebatan umum dikalangan
masyarakat. Beberapa pandangan dalam masyarakat membuat perbedaan yang kontras
akan masalah ini. Ada yang mendukung dan ada juga yang sama sekali
menentangnya.
Penganut utilitarianisme[6] bisa jadi merupakan
pendukung praktek euthanasia sebagai satu praktek yang wajar bagi mereka. Kaum utilitarian memegang Etika
Teleologis yaitu suatu etika yang berpusat pada tujuan, oleh karena itu jika
euthanasia (kematian) dianggap membawa kebahagiaan bagi orang tersebut, maka
euthanasia adalah sesuatu yang tidak melanggar moral dan boleh dilakukan.
Perbedaan pandangan yang terjadi di
dalam masyarakat menjadi sebuah perselisihan panjang yang tidak pernah menemui
ujungnya. Kaum pro euthanasia dan kaum sekuler ekstrim
berpendapat bahwa euthanasia itu masuk akal dilakukan oleh manusia sebab mereka
berpendapat bahwa manusia tidak diciptakan oleh Allah, manusia tidak memiliki
nilai-nilai yang diberikan oleh Allah sehingga manusia memiliki hak-nya sendiri untuk menentukan
hidup dan matinya. Sementara itu di sisi bersebrangan ada kaum Kristen, Yahudi kristen, dan agama-agama Theistik lainnya yang
berpendapat bahwa euthanasia dalam bentuk apapun juga merupakan tindakan yang
tidak dapat diterima secara moral[7].
Di pihak medis ternyata juga
mempunyai pandangan tersendiri terhadap euthanasia, para dokter serta pihak
medis yang lain menganggap bahwa belas
kasihan (compassion) terhadap manusia
itu lebih diutamakan sehingga Tujuan dalam pemakaian fasilitas euthanasia ialah
untuk mencetuskan belas kasihan secara praktis.[8]Melihat penderitaan pasien
yang semakin hari menunjukan kesakitannya walaupun obat-obatan penahan sakit
sudah diberikan, sehingga membuat suatu rasa iba yang mendalam bagi pihak medis
yang merawat dan akhirnya membuat mereka memikirkan euthanasia secara serius
demi alasan belas kasihan.
Akan tetapi benarkah bahwa alasan
belas kasihan akan penderitaan, entah bagaimanapun parahnya dapat menghalalkan
cara atau metode apapun untuk dilakukan? Hal inilah yang menjadi permasalahan
sampai saat ini. Satu catatan penting di tuliskan
oleh seorang ahli kedokteran bahwa belas kasihan memang hal yang terpenting
tetapi tidak perlu bahkan tidak bisa mengesampingkan masalah hukum[9] sehingga menurut penulis,
belas kasihan memang hal yang penting, akan tetapi harus mempertimbangkan
aspek-aspek penting lainnya sehingga keputusan yang di ambil tidak bersifat afektif dan subjektif.
d. Pandangan Kekristenan
Terhadap Euthanasia.
Berbicara tentang euthanasia memang
merupakan hal yang sangat dilematis bagi sebagian masyarakat, terutama
masyarakat Kristen. Euthanasia di anggap sebagai satu cara pembunuhan atau
pengambilan nyawa seseorang yang sebenarnya hak itu merupakan hak dari Allah
yang adalah pencipta manusia itu sendiri, maka hidup mati seorang manusia
seharusnya ditentukan oleh kehendak Allah saja Sehingga menimbulkan satu
pandangan Kristen yang mengatakan bahwa euthanasia adalah suatu usaha untuk
menggantikan Allah yang memiliki kedaulatan atas hidup manusia[10].
Kekristenan sebagian menganggap bahwa euthanasia bertentangan
dengan hukum-hukum Allah (pandangan absolutisme), manusia merupakan mahkluk yang
diciptakan seturut dan serupa dengan gambar Allah sehingga kemuliaan Allah
terpancar dari manusia yang memiliki nilai-nilai yang juga diberikan oleh Allah, manusia diberikan
pikiran, rasio, kehendak dan juga moral sehingga secara moral
manusia betanggung jawab tehadap penciptanya yaitu Allah sendiri. Alkitab pun berkata bahwa manusia juga adalah mahkluk kudus
sebagaimana Allah itu kudus (Im.11:44) sehingga membunuh sesama manusia
dilarang oleh Allah karena dianggap telah mlanggar kekudusan Allah sendiri.
Sebagian dari Pandangan
Kristen juga memandang euthanasia merupakan perbuatan yang tidak Alkitabiah
karena melanggar hukum “Jangan Membunuh”[11] bahkan Praktek euthanasia sendiri, baik itu Voluntary Euthanasia (Euthanasia
sukarela) yang merupakan kemauan sendiri dari pasien ataupun Euthanasia yang
sengaja dilakukan untuk menghentikan kehidupan seseorang. Dalam kasus Voluntary Euthanasia, pasien mengajukan
euthanasia atas dirinya di dasarkan pada kesadaran penuh dari dirinya, sehingga
pasien meminta dirinya untuk “di bunuh” atau dengan kata lain pasien ingin
melakukan bunuh diri. Hal ini tentunya bagi kekristenan dianggap sebagai
kejahatan yang sangat menjijikan karena telah melanggar kedaulatan Allah dalam
hidup dan juga telah gagal untuk bertanggung jawab atas hidup yang telah
dipercayakan Allah kepada kita.
Sebuah pertanyaan yang
patut di ajukan adalah bagaimana kalau kasus-kasus itu terjadi
bagi orang Kristen? Ketika seorang yang dikasihi berada pada situasi sakit
berkepanjangan dalam keadaan tidak sadarkan diri, sementara pihak keluarga
telah berupaya semaksimal mungkin dengan menguras begitu banyak tenaga dan
biaya sehingga di sisi lain menimbulkan sebuah permasalahan lain yang
membingungkan dan Ketika keluarga akan mengambil keputusan untuk mencabut
seluruh alat-alat medis yang menunjang kehidupan pasien itu timbulah suatu
dilema yang membuat kebingungan.
Pertimbangan
yang benar-benar serius haruslah dilakukan untuk mendapatkan suatu keputusan
moral yang benar dan tidak keliru. Ketika diperhadapkan dalam keadaan seperti
ini, menurut Norman L. Geisler ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan[12]:
1.
Penyakit yang diderita haruslah penyakit
yang tidak dapat diubah.
Dalam
hal ini harus ada pernyataan jelas dari ahli medis terbaik bahwa harapan untuk
kesembuhan medis itu tidak ada lagi, dalam arti bahwa kehidupan pasien hanya
bergantung sepenuhnya pada alat-alat buatan medis yang tidak wajar.
2.
Pasien mempunyai kekuatan veto
Jika
pasien dalam keadaan sadar dan rasional maka pasien mempunyai hak veto untuk
tidak memperpanjang hidupnya melalui alat-alat yang tidak wajar, tetapi jika
pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada atau tidak pernah menyatakan
keinginannya untuk apapun sebelumnya, maka orang lain yang harus bertanggung
jawab atas keputusan untuk pasien, entah itu keluarga terdekat atau kerabat
dekat yang dipercayai dan bersedia untuk mengambil keputusan.
3.
Keputusan Bersama
Keputusan
bersama ini haruslah di tentukan dan dibicarakan bersama yang melibatkan
keluarga, Pembina rohani (Pendeta atau Pastor), pengacara, bahkan kerabat lain.
Dan yang terutama adalah berdoa kepada Tuhan.Allah haruslah menjadi tempat
pertama orang Kristen dalam pengambilan sebuah keputusan, karena hanya Dia yang
berdaulat atas kehidupan manusia.Tetapi jika kita sudah berdoa dengan sungguh,
namun Allah tidak berkehendak untuk menyatakan mujizat (2Kor 12:7-9), maka
haruslah kita yakin bahwa itulah kehendak Allah dalam kehidupan.
Mengacu dari
beberapa pedoman ini seharusnya kita dapat melihat kewajiban yang terpenting
yang harus dilaksanakan dalam menghadapi situasi yang sedemikian rumit tersebut
sehingga beban moral tidak memberatkan dalam keputusan-keputusan yang di ambil.
Hal yang terpenting, menurut penulis adalah seharusnya manusia menyadari bahwa
sebuah kehidupan pasti akan menghadapi kematian entah kapan waktunya, sehingga
menunda atau memperpanjang proses kematian justru merupakan hal yang keliru.
Pandangan kita haruslah melestarikan nyawa, bukan memperpanjang proses
kematian.[13]
Kasih merupakan alasan bagi orang
Kristen untuk mendasari segala sesuatu,
tetapi bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang
kita kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang
sangat keliru.Kasih menuntut agar orang yang
sakitnya tidak tersembuhkan diperlakukan dengan semua belas kasihan yang
mungkin diberikan, tetapi bukan supaya kita mengambil nyawa orang itu bahkan
atas permintaannya sendiri. Belas kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan
orang yang akan binasa dengan zat penenang atau minuman keras dan bukan
membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Mencabut hidup manusia memang secara
moral adalah sangat keliru apapun motifnya, Apalagi
membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang Kristen memang itu
adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu salah untuk
mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian yang wajar.[14] Jika kita mengizinkan
kematian seseorang berlangsung dengan menghentikan suplai makanan atupun air,
maka ini disebut pembunuhan, akan tetapi ketika menolak atau menghentikan
alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan ataupun alat bantu ginjal itu
tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika
deontologis yaitu suatu etika yang berpusat pada kewajiban sehingga dalam hal
ini euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada kewajiban atau hukum yang
lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dipertimbangkan secara
rasional.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat kita
lihat bahwa Euthanasia aktif memang merupakan proses pembunuhan secara halus
yang dilakukan. Namun ada prinsip di dalam Euthanasia pasif yang wajar yaitu
mengizinkan kematian, artinya tugas moral kita adalah mengizinkan kematian yang
natural terjadi dalam kehidupan seseorang.Tentunya perimbangan-pertimbangan
yang dilakukan adalah pertimbangan yang benar-benar matang dan melibatkan semua
aspek-aspek penting untuk mendapatkan suatu keputusan moral yang benar.
Hal yang menjadi pertimbangan berat
ketika menentukan waktu kapan kita akan melepaskan alat-alat teknologi medis
yang tidak wajar dari tubuh sang pasien seharusnya bisa terjawab. Kita harus
mengingat bahwa teknologi bukanlah wasit yang menentukan pilihan-pilihan moral[15] dan Alkitab tidak pernah
menganjurkan kita untuk menunda kematian, karena itu sepenuhnya hak
Allah.Keputusan ada ditangan kita dengan
mengingat pedoman-pedoman yang sudah dipaparkan, sehingga tidak ada beban moral
dan rasa bersalah yang datang bagi kehidupan orang Kristen ketika menghadapi
permasalahan seperti ini.
Kita tidak bisa menghalangi kehendak
Allah dalam kehidupan seseorang, sehingga kematian merupakan suatu hal yang
pasti akan datang bagi setiap manusia, ketika para medis mengatakan bahwa tidak
ada harapan lagi untuk kesembuhan, dan melalui pergumulan serta doa yang terus
dinaikkan kepada Tuhan, namun Tuhan mempunyai kehendak lain, secara moral
dibenarkan untuk menghentikan usaha yang tidak wajar untuk menunda proses
kematian. Prinsip nilai yang berlaku adalah: membiarkan penderita penyakit yang
tidak tersembuhkan meninggal secara alami adalah tindakan yang penuh belas
kasihan dan penuh kasih.[16]
DAFTAR
PUSTAKA
Beach,
Waldo. Christian Ethics in the Protestant Tradition. Atlanta: John KnoxPress, 1988
Fletcher,
Joseph. “The Patient’s Right to Die.” Dalam Euthanasia and The Right to death, edited by A.B. Downing. Los Angeles, California: Nash
Publishing, 1969
Geisler,
Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang: Departement LiteraturSAAT, 2000
Marx,
Dorothy I. Itu ‘kan Boleh. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995
McDowell
Josh dan Norm Geisler.Kasih itu Selalu Benar. Jakarta: Professional Books, 1997
Vere,
Duncan. Voluntary Euthanasia – is There an Alternative? London: Christian Medical Fellowship, 1979
[1]Hippokrates adalah seorang ahli
fisika dari Yunani kuno yang dikenal sebagai figur medis yang paling terkemuka
sepanjang masa dan disebut sebagai “Bapak Kedokteran” dunia. Hippokrates
sendiri membuat beberapa karya tulisan salah satunya adalah Hippocratic Oath yang memuat tentang
sumpah yang dilakukan oleh para dokter tentang etika yang harus mereka lakukan
dalam melakukan praktik profesinya, yang dalam salah satu pasalnya menyinggung
tentang pemberian racun atau zat mematikan untuk pembunuhan halus kepada pasien
(Euthanasia)
[6]Utilitarianisme
adalah adalah suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik
adalah yang bermanfaat, berfaedah dan yang menguntungkan sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah
yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya
perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan
menguntungkan. Apa yang menguntungkan itu dianggap sebagai suatu kebahagiaan.
Dan kebahagiaan itulah yang menjadi tujuan hidup manusia. Sehingga ketika kematian dianggap
sebagai suatu yang baik yang mendatangkan keuntungan entah bagi penderita maupun
keluarga, maka praktek euthanasia merupakan satu-satunya jalan untuk mendatangkan
kebahagiaan dan keuntungan.
[11]Pandangan reaktif
terhadap kedua hal ini bagi sebagian kalangan kristen bahkan dipertentangkan secara
paradoks sehingga terkesan sebagai dua hal yang bertentangan.
Terima kasih, very helping
BalasHapusBetfred Casino and Sportsbook launch in Tennessee - MJH
BalasHapus› 목포 출장마사지 › Sports Betting › › Sports Betting May 제주도 출장안마 20, 2017 계룡 출장안마 — May 20, 2017 Betfred Sportsbook has launched in Tennessee and is a multi-provider sportsbook, betting 익산 출장샵 app 부산광역 출장안마 and sportsbook in Tennessee.