Langsung ke konten utama

Euthanasia ditinjau dari perspektif Kristen



            Dalam kehidupan orang percaya, tentunya berbagai macam problema dan masalah moral dan etis  pasti datang menghampiri, entah itu yang baik atau yang tidak baik, bahkan yang  buruk sekalipun. ketika kita diperhadapkan dalam situasi yang seperti ini tentunya kita harus mengambil keputusan-keputusan yang bersinggungan dengan etika yang juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan moral demi hasil yang baik dan benar dan tidak hanya berlaku sepihak serta berpadanan dengan Hukum Allah.
            Sebagai contoh, seseorang yang menderita sebuah penyakit akut bertahun-tahun dan tidak ada kemungkinan untuk sembuh, karena hidupnya bergantung pada bantuan alat-alat medis yang canggih untuk menopang kelangsungan kehidupan orang tersebut.membuat keluarga dan orang-orang disekitarnya diperhadapkan dengan dilema. Dampak lain yang ditimbulkan adalah permasalahan ekonomi keluarga orang tersebut yang semakin hari-semakin mengalami penyusutan akibat biaya medis yang begitu mahal. Dari kasus seperti ini, apa yang kira-kira hendak kita lakukan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menghadapi situasi  ini? Penulis mencoba memaparkan satu bahasan yang mungkin sebagian kita, belum bahkan sudah pernah mendengarkannya, yaitu Euthanasia.
            Euthanasia adalah suatu cara dalam dunia medis yang akhir-akhir ini mulai sering terdengar dikalangan masyarakat. Beberapa negara di dunia telah melegalkan cara ini dalam mengatasi berbagai masalah baik itu dalam menekan laju pertumbuhan penduduk, meringankan beban seseorang atau kelompok dalam penderitaan karena sakit, ataupun dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang yang sakit parah, karena di anggap tidak ada harapan untuk hidup.
            Tulisan ini mencoba memaparkan bagaimana  kekristenan melihat euthanasia dari perspektif etika kristen.


EUTHANASIA

a. Etimologi
            Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Eu, yang berarti baik atau indah dan Thanatos yang berarti maut, mati, atau kematian sehingga euthanasia bisa di artikan: Mati dengan baik, mati dengan indah, atau kematian yang indah. Kata euthanasia sendiri pertama kali digunakan oleh Hippokrates[1] dalam “Sumpah Hippokrates” (Hippocratic Oath) pada sekitar tahun 400 SM. Tetapi perkataan ini pada zaman sekarang mempunyai arti yang lain sekali yaitu Mercy Killing (membunuh dengan alasan belas kasihan)[2].Euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang di anggap tidak menimbulkan rasa sakit (rasa sakit yang minimal) atau penderitaan yang hebat, sehingga dianggap sebagai suatu kematian yang membahagiakan dan pergi dengan baik atau damai.
            Dalam prakteknya biasanya euthanasia dilakukan dengan cara menyuntikan zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien, atau mencabut dan menghentikan alat-alat penunjang kehidupan bagi pasien yang berada dalam keadaan koma dan tidak sadarkan diri agar mempercepat proses kematian orang tersebut. Apapun artinya, praktek dari Euthanasia sendiri menurut penulis tidak seindah dan sebagus artinya karena melakukan hal-hal yang menuju kearah kematian.

b. Jenis-Jenis Euthanasia
            Bila ditinjau dari pelaksanaannya, maka euthanasia dibagi menjadi tiga kategori:
1.      Euthanasia Aktif  (Agresif)
Merupakan cara Euthanasia yang dilakukan oleh seseorang entah itu Dokter atau tenaga medis lainnya dengan cara  sengaja melakukan suatu tindakan untuk menghentikan atau memperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia Aktif ada dua cara: yang pertama Dokter atau tenaga medis yang mengambil tindakan mematikan. Misalnya dengan memberi suntikan atau senyawa lain yang mematikan, biasanya cairan atau senyawa yang disuntikan adalah cairan sianida. Kedua, dokter atau tenaga medis hanya memberikan resep obat yang mematikan dalam dosis yang sangat besar. Jenis Euthanasia ini disebut juga dengan istilah “Bunuh diri berbantuan”.
2.      Euthanasia Otomatis (non Agresif)
Jenis euthanasia ini adalah suatu kondisi ketika seorang pasien menolak secara tegas dan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya tersebut justru akan memperpendek atau bahkan segera mengakhiri hidupnya.Penolakan ini harus diajukan secara resmi, baik itu persetujuan diri pasien, persetujuan keluarga dan persetujuan secara hukum.Pengajuan euthanasia ini harus diajukan dengan membuat sebuah codicil (surat pernyataan) sehingga tidak ada tuntutan apapun di kemudian hari apabila terjadi suatu keberatan-keberatan.
Negara Swiss merupakan salah satu negara yang melegalkan praktek euthanasia seperti ini.Bagi beberapa negara di dunia termasuk Indonesia bentuk euthanasia seperti ini masih merupakan problema, apalagi bagi para dokter masalah moral ini masih menjadi sebuah dilema yang menantang sumpah kedokteran secara universal.[3]
3.      Eutanasia Pasif
Euthanasia pasif atau yang biasanya juga disebut sebagai euthanasia negatif. Euthanasia pasif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu euthanasia pasif yang tidak wajar dan euthanasia pasif wajar. Euthanasia pasif yang tidak wajar merupakan bentuk euthanasia yang membiarkan kematian terjadi dengan melepaskan alat-alat bantuan medis yang vital seperti oksigen, atau suplai nutrisi cairan makanan, untuk menunjang keberlangsungan kehidupan agar kematian pasien terjadi dengan sendirinya. Sebaliknya euthanasia pasif yang wajar adalah suatu bentuk euthanasia pasif yang mengijinkan kematian terjadi dengan melepaskan alat-alat bantuan medis seperti alat bantu ginjal, pernafaan buatan,atau jantung buatan. Menurut Norman L. Geisler, euthanasia pasif yang wajar adalah euthanasia pasif yang meninggalkan alat pendukung hidup yang tidak wajar[4].


c. Pandangan Masyarakat Terhadap Euthanasia
            Geisler berkata bahwa perdebatan tentang euthanasia pada dasarnya merupakan suatu perselisihan tentang pandangan-pandangan dunia.[5] Euthanasia memang merupakan tindakan yang masih menjadi perdebatan umum dikalangan masyarakat. Beberapa pandangan dalam masyarakat membuat perbedaan yang kontras akan masalah ini. Ada yang mendukung dan ada juga yang sama sekali menentangnya.
            Penganut utilitarianisme[6] bisa jadi merupakan pendukung praktek euthanasia sebagai satu praktek yang wajar bagi mereka. Kaum utilitarian memegang Etika Teleologis yaitu suatu etika yang berpusat pada tujuan, oleh karena itu jika euthanasia (kematian) dianggap membawa kebahagiaan bagi orang tersebut, maka euthanasia adalah sesuatu yang tidak melanggar moral dan boleh dilakukan.
            Perbedaan pandangan yang terjadi di dalam masyarakat menjadi sebuah perselisihan panjang yang tidak pernah menemui ujungnya. Kaum pro euthanasia dan kaum sekuler ekstrim berpendapat bahwa euthanasia itu masuk akal dilakukan oleh manusia sebab mereka berpendapat bahwa manusia tidak diciptakan oleh Allah, manusia tidak memiliki nilai-nilai yang diberikan oleh Allah sehingga manusia  memiliki hak-nya sendiri untuk menentukan hidup dan matinya. Sementara itu di sisi bersebrangan ada kaum Kristen, Yahudi kristen, dan agama-agama Theistik lainnya yang berpendapat bahwa euthanasia dalam bentuk apapun juga merupakan tindakan yang tidak dapat diterima secara moral[7].
            Di pihak medis ternyata juga mempunyai pandangan tersendiri terhadap euthanasia, para dokter serta pihak medis yang lain menganggap bahwa  belas kasihan (compassion) terhadap manusia itu lebih diutamakan sehingga Tujuan dalam pemakaian fasilitas euthanasia ialah untuk mencetuskan belas kasihan secara praktis.[8]Melihat penderitaan pasien yang semakin hari menunjukan kesakitannya walaupun obat-obatan penahan sakit sudah diberikan, sehingga membuat suatu rasa iba yang mendalam bagi pihak medis yang merawat dan akhirnya membuat mereka memikirkan euthanasia secara serius demi alasan belas kasihan.
            Akan tetapi benarkah bahwa alasan belas kasihan akan penderitaan, entah bagaimanapun parahnya dapat menghalalkan cara atau metode apapun untuk dilakukan? Hal inilah yang menjadi permasalahan sampai saat ini. Satu catatan penting di tuliskan oleh seorang ahli kedokteran bahwa belas kasihan memang hal yang terpenting tetapi tidak perlu bahkan tidak bisa mengesampingkan masalah hukum[9] sehingga menurut penulis, belas kasihan memang hal yang penting, akan tetapi harus mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya sehingga keputusan yang di ambil tidak bersifat afektif dan subjektif.


d. Pandangan Kekristenan Terhadap Euthanasia.
            Berbicara tentang euthanasia memang merupakan hal yang sangat dilematis bagi sebagian masyarakat, terutama masyarakat Kristen. Euthanasia di anggap sebagai satu cara pembunuhan atau pengambilan nyawa seseorang yang sebenarnya hak itu merupakan hak dari Allah yang adalah pencipta manusia itu sendiri, maka hidup mati seorang manusia seharusnya ditentukan oleh kehendak Allah saja Sehingga menimbulkan satu pandangan Kristen yang mengatakan bahwa euthanasia adalah suatu usaha untuk menggantikan Allah yang memiliki kedaulatan atas hidup manusia[10].
            Kekristenan sebagian  menganggap bahwa euthanasia bertentangan dengan hukum-hukum Allah (pandangan absolutisme), manusia merupakan mahkluk yang diciptakan seturut dan serupa dengan gambar Allah sehingga kemuliaan Allah terpancar dari manusia yang memiliki nilai-nilai yang juga diberikan oleh Allah, manusia diberikan pikiran, rasio, kehendak dan juga moral sehingga secara moral manusia betanggung jawab tehadap penciptanya yaitu Allah sendiri. Alkitab pun berkata bahwa manusia juga adalah mahkluk kudus sebagaimana Allah itu kudus (Im.11:44) sehingga membunuh sesama manusia dilarang oleh Allah karena dianggap telah mlanggar kekudusan Allah sendiri.
            Sebagian dari Pandangan Kristen juga memandang euthanasia merupakan perbuatan yang tidak Alkitabiah karena melanggar hukum “Jangan Membunuh”[11] bahkan Praktek euthanasia sendiri, baik itu Voluntary Euthanasia (Euthanasia sukarela) yang merupakan kemauan sendiri dari pasien ataupun Euthanasia yang sengaja dilakukan untuk menghentikan kehidupan seseorang. Dalam kasus Voluntary Euthanasia, pasien mengajukan euthanasia atas dirinya di dasarkan pada kesadaran penuh dari dirinya, sehingga pasien meminta dirinya untuk “di bunuh” atau dengan kata lain pasien ingin melakukan bunuh diri. Hal ini tentunya bagi kekristenan dianggap sebagai kejahatan yang sangat menjijikan karena telah melanggar kedaulatan Allah dalam hidup dan juga telah gagal untuk bertanggung jawab atas hidup yang telah dipercayakan Allah kepada kita.
            Sebuah pertanyaan yang patut di ajukan adalah bagaimana kalau kasus-kasus itu terjadi bagi orang Kristen? Ketika seorang yang dikasihi berada pada situasi sakit berkepanjangan dalam keadaan tidak sadarkan diri, sementara pihak keluarga telah berupaya semaksimal mungkin dengan menguras begitu banyak tenaga dan biaya sehingga di sisi lain menimbulkan sebuah permasalahan lain yang membingungkan dan Ketika keluarga akan mengambil keputusan untuk mencabut seluruh alat-alat medis yang menunjang kehidupan pasien itu timbulah suatu dilema yang membuat kebingungan.

                        Pertimbangan yang benar-benar serius haruslah dilakukan untuk mendapatkan suatu keputusan moral yang benar dan tidak keliru. Ketika diperhadapkan dalam keadaan seperti ini, menurut Norman L. Geisler ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan[12]:

1.      Penyakit yang diderita haruslah penyakit yang tidak dapat diubah.
Dalam hal ini harus ada pernyataan jelas dari ahli medis terbaik bahwa harapan untuk kesembuhan medis itu tidak ada lagi, dalam arti bahwa kehidupan pasien hanya bergantung sepenuhnya pada alat-alat buatan medis yang tidak wajar.
2.      Pasien mempunyai kekuatan veto
Jika pasien dalam keadaan sadar dan rasional maka pasien mempunyai hak veto untuk tidak memperpanjang hidupnya melalui alat-alat yang tidak wajar, tetapi jika pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada atau tidak pernah menyatakan keinginannya untuk apapun sebelumnya, maka orang lain yang harus bertanggung jawab atas keputusan untuk pasien, entah itu keluarga terdekat atau kerabat dekat yang dipercayai dan bersedia untuk mengambil keputusan.
3.      Keputusan Bersama
Keputusan bersama ini haruslah di tentukan dan dibicarakan bersama yang melibatkan keluarga, Pembina rohani (Pendeta atau Pastor), pengacara, bahkan kerabat lain. Dan yang terutama adalah berdoa kepada Tuhan.Allah haruslah menjadi tempat pertama orang Kristen dalam pengambilan sebuah keputusan, karena hanya Dia yang berdaulat atas kehidupan manusia.Tetapi jika kita sudah berdoa dengan sungguh, namun Allah tidak berkehendak untuk menyatakan mujizat (2Kor 12:7-9), maka haruslah kita yakin bahwa itulah kehendak Allah dalam kehidupan.

            Mengacu dari beberapa pedoman ini seharusnya kita dapat melihat kewajiban yang terpenting yang harus dilaksanakan dalam menghadapi situasi yang sedemikian rumit tersebut sehingga beban moral tidak memberatkan dalam keputusan-keputusan yang di ambil. Hal yang terpenting, menurut penulis adalah seharusnya manusia menyadari bahwa sebuah kehidupan pasti akan menghadapi kematian entah kapan waktunya, sehingga menunda atau memperpanjang proses kematian justru merupakan hal yang keliru. Pandangan kita haruslah melestarikan nyawa, bukan memperpanjang proses kematian.[13]
            Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu,  tetapi bukan belas kasihan yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih merupakan sebuah hal yang sangat keliru.Kasih menuntut agar orang     yang sakitnya tidak tersembuhkan diperlakukan dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan supaya kita mengambil nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas kasihan menurut Alkitab adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat penenang atau minuman keras dan bukan membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Mencabut hidup manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun motifnya, Apalagi membantu seseorang untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah, tetapi tidak selalu salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian yang wajar.[14] Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan menghentikan suplai makanan atupun air, maka ini disebut pembunuhan, akan tetapi ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang tidak wajar seperi jantung buatan ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut dengan Euthanasia Pasif yang wajar.
            Etika Kristen merupakan etika deontologis yaitu suatu etika yang berpusat pada kewajiban sehingga dalam hal ini euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada kewajiban atau hukum yang lebih tinggi berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dipertimbangkan secara rasional.







KESIMPULAN

            Dari pemaparan di atas dapat kita lihat bahwa Euthanasia aktif memang merupakan proses pembunuhan secara halus yang dilakukan. Namun ada prinsip di dalam Euthanasia pasif yang wajar yaitu mengizinkan kematian, artinya tugas moral kita adalah mengizinkan kematian yang natural terjadi dalam kehidupan seseorang.Tentunya perimbangan-pertimbangan yang dilakukan adalah pertimbangan yang benar-benar matang dan melibatkan semua aspek-aspek penting untuk mendapatkan suatu keputusan moral yang benar.
            Hal yang menjadi pertimbangan berat ketika menentukan waktu kapan kita akan melepaskan alat-alat teknologi medis yang tidak wajar dari tubuh sang pasien seharusnya bisa terjawab. Kita harus mengingat bahwa teknologi bukanlah wasit yang menentukan pilihan-pilihan moral[15] dan Alkitab tidak pernah menganjurkan kita untuk menunda kematian, karena itu sepenuhnya hak Allah.Keputusan  ada ditangan kita dengan mengingat pedoman-pedoman yang sudah dipaparkan, sehingga tidak ada beban moral dan rasa bersalah yang datang bagi kehidupan orang Kristen ketika menghadapi permasalahan seperti ini.
            Kita tidak bisa menghalangi kehendak Allah dalam kehidupan seseorang, sehingga kematian merupakan suatu hal yang pasti akan datang bagi setiap manusia, ketika para medis mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi untuk kesembuhan, dan melalui pergumulan serta doa yang terus dinaikkan kepada Tuhan, namun Tuhan mempunyai kehendak lain, secara moral dibenarkan untuk menghentikan usaha yang tidak wajar untuk menunda proses kematian. Prinsip nilai yang berlaku adalah: membiarkan penderita penyakit yang tidak tersembuhkan meninggal secara alami adalah tindakan yang penuh belas kasihan dan penuh kasih.[16]























DAFTAR PUSTAKA

Beach, Waldo. Christian Ethics in the Protestant Tradition. Atlanta: John   KnoxPress, 1988

Fletcher, Joseph. “The Patient’s Right to Die.” Dalam Euthanasia and The Right to death,             edited by  A.B. Downing. Los Angeles, California: Nash Publishing, 1969

Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang: Departement  LiteraturSAAT, 2000

Marx, Dorothy I. Itu ‘kan Boleh. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995

McDowell Josh dan Norm Geisler.Kasih itu Selalu Benar. Jakarta: Professional Books, 1997

Vere, Duncan. Voluntary Euthanasia – is There an Alternative? London: Christian             Medical Fellowship, 1979

























       [1]Hippokrates adalah seorang ahli fisika dari Yunani kuno yang dikenal sebagai figur medis yang paling terkemuka sepanjang masa dan disebut sebagai “Bapak Kedokteran” dunia. Hippokrates sendiri membuat beberapa karya tulisan salah satunya adalah Hippocratic Oath yang memuat tentang sumpah yang dilakukan oleh para dokter tentang etika yang harus mereka lakukan dalam melakukan praktik profesinya, yang dalam salah satu pasalnya menyinggung tentang pemberian racun atau zat mematikan untuk pembunuhan halus kepada pasien (Euthanasia)
       [2]Dorothy I. Marx, Itu ‘kan Boleh!(Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995), 80.
       [3]Lih.Joseph Fletcher, “The Patient’s Right to Die” dalam Euthanasia and The Right to Death, ed. A.B. Downing (Los Angeles,California: Nash Publishing 1969), 64.
       [4]Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu (Malang: Department Literatur SAAT, 2000), 206
       [5]Ibid., 206
[6]Utilitarianisme adalah adalah suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang bermanfaat, berfaedah dan yang menguntungkan sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Apa yang menguntungkan itu dianggap sebagai suatu kebahagiaan. Dan kebahagiaan itulah yang menjadi tujuan hidup manusia. Sehingga ketika kematian dianggap sebagai suatu yang baik yang mendatangkan keuntungan entah bagi penderita maupun keluarga, maka praktek euthanasia merupakan satu-satunya jalan untuk mendatangkan kebahagiaan dan keuntungan.
       [7]Untuk lebih jelasnya lih. Norman L. Geisler, Etika Kristen: Pilihan dan Isu hal. 207 Halh
       [8]Dorothy I. Marx, 82.
       [9]Duncan W. Vere, Voluntary Euthanasia – Is There an Alternative?(London: Christian Medical Fellowship Publications, 1979),33.
       [10]Norman L. Geisler, 207.
[11]Pandangan reaktif terhadap kedua hal ini bagi sebagian kalangan kristen bahkan dipertentangkan secara paradoks sehingga terkesan sebagai dua hal yang bertentangan.
       [12]Ibid., 213.
       [13]Josh McDowwel dan Norm Geisler, Kasih Selalu Benar (Jakarta: Proffesional Books, 1996), 305.
       [14]Ibid.,211.
       [15]Waldo Beach, Christian Ethics in the Protestant Tradition (Atlanta, Georgia: John Knox Press, 1988), 76.
       [16]Josh McDowell dan Norm Geisler, 307.

Komentar

  1. Betfred Casino and Sportsbook launch in Tennessee - MJH
    목포 출장마사지 › Sports Betting › › Sports Betting May 제주도 출장안마 20, 2017 계룡 출장안마 — May 20, 2017 Betfred Sportsbook has launched in Tennessee and is a multi-provider sportsbook, betting 익산 출장샵 app 부산광역 출장안마 and sportsbook in Tennessee.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Di Balik Lagu KJ. 401 "Makin Dekat Tuhan"

Images Source: https://img.discogs.com  Penggubah & Latar Belakang            Tentu sebagian besar kita tidak asing dengan sebuah film romansa yang diangkat dari sebuah kisah  nyata yang terjadi pada tahun 1912 yakni Titanic. Film ini menceritakan tentang  sebuah kapal yang karam disebabkan oleh benturan hebat antara kapal dan gunung es, yang kemudian memakan korban yang tidak sedikit. Adegan demi adegan di dalam film ini mencoba menggambarkan kembali detil setiap kejadian di masa itu sehingga penonton ikut larut dan merasakan betapa peristiwa itu begitu dahsyat nan mengerikan.             Tulisan ini tidak membahas mengenai jalan cerita film di atas, melainkan ada satu yang menarik dalam film karya sutradara kondang James Cameroon ini, yakni adegan di mana grup musik kapal itu tetap memainkan lagu-lagu mereka dengan profesional di tengah kepanikan penumpang yang tengah terancam nyawanya. Salah satunya adalah hymn “ Nearer my God to Thee ” atau di dalam Kidung Jemaat

Elia Nabi Yang Setia

Pendahuluan             Cerita mengenai nabi-nabi di dalam Alkitab barangkali bukan menjadi sesuatu yang asing di telinga orang Kristen. Sejak kecil pengajaran di Sekolah Minggu telah mengajarkan anak-anak mengenai kisah heroik para nabi dalam membawa bangsa Israel dengan segala mukjizat yang dilakukan seperti Musa yang membelah laut merah, atau Yosua dengan tentaranya meruntuhkan tembok Yerikho.             Salah satu ialah Elia, yang merupakan  satu dari sekian banyak nabi yang diceritakan di dalam Alkitab yang menggambarkan bagaimana Allah memakai manusia untuk menjadi “penyambung lidah-Nya” dalam berbicara kepada manusia dan menyatakan kehendak-Nya. Elia merupakan salah satu nabi yang dipakai Allah secara luar biasa untuk berbicara kepada umat Israel bahkan bukan hanya berbicara dalam bentuk peringatan, akan tetapi Elia juga bertindak melakukan nubuat dengan bukti karena keyakinannya terhadap suara Allah dan kehendak Allah. Elia melakukan mujizat-mujizat. Ia tiba-tiba muncul

Paper Allah Tritunggal

PENDAHU LUAN             Tritunggal merupakan suatu istilah populer dalam kekristenan dan merupakan salah satu ajaran fundamental dalam agama Kristen. Doktrin ini lahir dari perumusan bapa-bapa gereja mula-mula dengan presuposisi dasar dalam melihat Alkitab sebagai pengenalan akan Allah yang telah menyatakan diriNya secara khusus melalui Firman-Nya dan bahwa Allah mengkomunikasikan diriNya secara cukup bagi manusia untuk mengenal Allah yang sesungguhhnya sehingga manusia dapat menjadi bijak dan menuntun  menuju keselamatan. [1] Dari pemahaman dasar inilah mereka melihat dan merumuskan bahwa Allah hadir dan menyatakan diriNya  dalam wujud Allah Tritunggal.             Namun dalam perjalanannya tentu saja hasil dari perumusan ini tidak sepenuhnya diterima dengan tangan terbuka oleh sebagian kalangan. Hantaman kritikan dari berbagai teolog-teolog yang kontra dan tidak sejalan dengan pengajaran ini di zamannya berusaha untuk meruntuhkan dan membuat pengajaran baru. Salah satu dianta