Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Hal ini
terbukti dari banyaknya agama yang ada di Indonesia. Kemajemukan ini merupakan
satu ciri unik Negara Indonesia di mata dunia Internasional. Dengan falsafah “Bhineka
Tunggal Ika” yang berarti berbeda tetapi tetap satu menjadikan bangsa ini
sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan.
Indonesia merupakan negeri serba pluralistis. Bukan hanya dari suku, budaya,
bahasa, tetapi juga dari agama-agama yang ada. Negara Indonesia mengakui
beberapa agama antara lain: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha
(termasuk Kong Hu Chu).
Kepelbagaian yang dianut oleh
masyarakat Indonesia tidak dengan sendirinya buruk. Sudah merupakan tradisi
bahwa sejak dulu, orang-orang Indonesia menganut sikap toleransi dan tenggang
rasa dalam kehidupan beragama, hal ini dibuktikan dengan bukti-bukti sejarah
yang membuktikan adanya sikap toleransi tersebut. salah satunya adalah
peninggalan candi-candi. Candi Borobudur, Prambanan, dan lainnya tidak saja
memperlihatkan bahwa pembuatnya adalah seorang pengikut Budha yang taat, tetapi
sekaligus memperlihatkan jejak-jejak penghormatan kepada Hindu, khususnya Syiwa. Namun, akhir-akhir ini sangat
sulit menemukan bahwa nilai-nilai itu masih dipegang teguh oleh rakyat
Indonesia sendiri.
Dalam tinjauan ini, kita akan
melihat hubungan antar umat beragama, khususnya antara dua agama besar yang ada
di Indonesia yaitu agama Islam dan Agama Kristen, dalam sejarah perjalanan
kedua agama ini di bangsa Indonesia, serta hubungan dalam relasi sosial di
masyarakat yang sejak lama telah menunjukan ketidakharmonisan dalam berhubungan
antar sesama umat . Ketika Islam memasuki Indonesia yang dibawa oleh
pedagang-pedagang Gujarat, mereka berhasil mencapai rakyat dan menanamkan
pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat sehingga menjadi agama sebagian
besar rakyat Indonesia pada waktu itu. dari sanalah lahir kerajaan-kerajaan
Islam, seperti Kerajaan Demak yang muncul di tengah-tengah kerapuhan Kerajaan
Majapahit. Dari Demak, beralih sampai ke Mataram sampai Islam menyebar ke
pelosok Nusantara.
Di tengah-tengah proses islamisasi
sedang berlangsung, datanglah orang-orang Eropa yang serta-merta membawa ajaran
Kristiani sebagai salah satu misi dari kedatangan mereka, menjadikan agama
Kristen bertumbuh di daerah-daerah tertentu di tanah air. Kehidupan bersama
dalam perbeaan agama ini dijalani dari masa ke masa. Islam dengan penekanan
kerukunan umat dan Kristen yang menjunjung tinggi “hukum kasih” menjadikan
masyarakat Indonesia hidup di dalam toleransi yang tinggi. Tetapi sikap
toleransi dan tenggang rasa itu dapat saja berubah menjadi saling curiga bahkan
konflik, ketika agama dirasuki unsur lain yang dalam banyak hal bertentangan
dengan misi agama itu. dalam kaitan dengan hal ini agama dijadikan tameng dan
diperalat oleh golongan-golongan tertentu untuk mendapat kekuasaan ataupun
kepentingan lain yang ingin menjadikan negara Indonesia sebagai negara berbasis
agama. Akibatnya toleransi sudah menjadi hal yang ditinggalkan, sehingga
menimbulkan sikap-sikap tidak terbuka dan saling membenci yang telah terjadi
pada Indonesia dewasa ini. bagaimana tanggung jawab kita alam menyikapi
persoalan ini, khususnya kita melihat hubungan antara Islam-Kristen yang
akhir-akhir ini berpolemik. Penindasan terhadap kaum minoritas yang
sesungguhnya adalah warga negara yang berhak untuk mendapatkan perlakuan adil
dari negara, karena di dalam Pancasila sendiri tidak ada kaum minoritas dan
mayoritas, semua adalah sama. Pancasila berasal dan berakar dari kebudayaan
asli Indonesia yaitu sifat religius yang kuat dan budaya yang menjunjung tinggi
nilai kebersamaan, di dalam tindakan gotong-royong maupun di dalam pengambilan
keputusan atau musyawarah untuk mufakat dengan tujuan menjaga serta memelihara
keserasian hubungan di dalam kelompok maupun dengan kelompok lain serta
lingkungan hidupnya.[1]
Inilah nilai-nilai yang sudah mulai tergerus oleh banjirnya
kepentingan-kepentingan yang tidak bertanggung jawab dari beberapa oknum
sebagai warga negara
yang tidak bertanggung jawab.
I. INDONESIA DAN
PANCASILA
Republik
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari ±13.487
pulau, oleh karena itu disebut dengan sebutan “Nusantara”.
Kemajemukan dalam suku dan budaya di
masing-masing daerah menjadikan Indonesia sebagai negara pluralistis. Hasil
kekayaan alam yang melimpah membuat bangsa-bangsa dari Eropa menjadikan
Indonesia sebagai tujuan dari
kepentingan dagang mereka. Portugis, Inggris, Belanda, merupakan negara-negara
Eropa yang pernah singgah di negara ini. Selama 350 tahun Indonesia dijajah oleh kolonialisme Belanda,
hingga pada bulan Agustus 1945 Indonesia mengalami kemerdekaan. Salah seorang
tokoh yang sangat penting dalam kemerdekaan ialah Soekarno, yang juga seorang
pejuang akan lahirnya Pancasila, sekaligus Presiden pertama Bangsa Indonesia
yang pada waktu itu membentuk panitia kecil kemerdekaan Indonesia, untuk
merumuskan Dasar kenegaraan yang merupakan paham dan azas hidup masyarakat
kelak. Setelah melalui berbagai perbaikan dan perombakan, maka lahirlah 5 butir
(sila) yang kita sebut dengan Pancasila.
Pancasila lahir karena memang merupakan
akar dari kebudayaan Indonesia sendiri, yang mampu merangkul semua kelompok dan
memberi ruang kepada semua golongan dengan segala keaneka-ragaman. Namun, bukan
berarti Pancasila lahir tanpa hambatan. Secara historis, pernah ada usaha
alternatif yang lain untuk menjadi dasar
negara Republik Indonesia yaitu kaum Fundamentalis Islam. Agama islam sendiri
merupakan agama yang paling besar di Indonesia. Beberapa kali kaum fanatisme
Islam ingin merubah dan menggantikan Pancasila dengan hukum Islam, tetapi hal
ini masih saja belum busa berhasil hingga saat ini. ini merupakan satu pemicu
aktif bagi ketidakharmonisan antara agama-agama di Indonesia, salah satunya
Kristen. Kaum Kristen menganggap bahwa
hanya Pancasila yang dapat tetap menjaga kemurnian dari Demokrasi kenegaraan.
Kekristenan melihat keunggulan Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah bukan
dilihat dari pancasila sebagai konsep teoritis dan filosofis saja melainkan
juga sebagai “senjata” untuk menghadapi persoalan-persoalan kongkrit, sejauh
mana ia mampu untuk mempertahankan baik ke“bhineka”an maupun ke“tunggal”an
Indonesia di dalam suatu dialog karya yang terus menerus guna membangun suatu
masa depan bersama dengan masing-masing bertolak dari kepercayaan dan
keyakinannya.[2]
II. LATAR BELAKANG DAN
SEJARAH ISLAM INDONESIA
Pada abad ke-13 merupakan awal masuknya
Islam di Indonesia. Melalui pedagang-pedagang dari Arab dan pedagang-pedagang
Gujarat India. Seperti halnya penyebaran agama Hindu dan Budha, kaum pedagang
memegang peranan penting di dalam proses penyebaran agama Islam. Mereka
mengenalkan agama dan budaya islam kepada para pedagang lain maupun kepada
penduduk setempat. Maka mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama
Islam dan lama-kelamaan penganut Islam semakin meluas. Di samping mereka
menyiarkan agama, para pedagang ini ada yang menikah dengan penduduk setempat
sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak Islam. Hal ini berlangsung terus-meneus
dan akhirnya muncul sebuah komunitas islam, yang setelah kuat lalu membentuk
sebuah pemerintahan Islam. Dari sinilah cikal bakal kelahiran kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia.
Selain dari pada pedagang, Islam juga
disiarkan oleh para Mubaligh yang datang untuk menyiarkan misi agamanya. Di
pulau Jawa, penyebaran Islam dilakukan
oleh Wali Songo atau Sembilan Wali.
Wali adalah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri
kepada Allah, dan para Wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah yang
memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga
adalah penasihat Sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian
diberi gelar “Sunan” yang artinya di junjung tinggi. Kesembilan Wali tersebut
adalah :
·
Sunan Gresik, Wali
pertama yang datang di pulau Jawa pada abad ke-13.
·
Sunan Ampel atau Raden
Rahmat yang adalah perancang Masjid Demak.
·
Sunan Drajat anak dari
Sunan Ampel dikenal sangat berjiwa sosial.
·
Sunan Bonang, anak
Sunan Ampel terkenal dengan kebijaksanaan.
·
Sunan Kalijaga, murid
Sunan Bonang yang adalah seorang filsuf dan pujangga.
·
Sunan Giri, menyiarkan
Islam di luar Jawa (Madura, Nusa Tenggara, Maluku).
·
Sunan Kudus yang adalah
ahli bangunan dan seorang Arsitek handal.
·
Sunan Muria yang sangat
dekat dengan rakyat jelata.
·
Sunan Gunung Jati yang
menyiakan agama Islam di daerah Banten.
Oleh karena kesembilan Wali inilah sehingga perkembangan Islam di
Indonesia menjadi begitu pesat. Misi mereka ke pelosok Nusantara, keluar pulau
Jawa yang menjadikan Islam menjadi agama terbesar di negeri ini. Di
tengah-tengah proses peng”islaman” Indonesia inilah datang suatu interupsi,
yakni sejarah kedatangan para pedagang barat yang datang ke Indonesia yang
menjadi penguasa secara politik dan menguasai masyarakat pribumi sehingga
menimbulkan ketegangan besar di Indonesia kala itu. Indonesia yang saat itu beridentitaskan
Islam sebagai agama Negara, justru di pengaruhi dan dimasuki oleh budaya barat
yang membawa serta misi untuk meng”kristen”kan rakyat pribumi. Kekuasaan Belanda
dianggap musuh besar bagi islam sehingga Belanda mendapat perlawanan yang keras
dari rakyat dan kerajaan-kerajaan Islam. Ketika injil diberitakan di Nusantara,
umat Islam bereaksi keras dan Belanda dipandang sedang mengadakan “kerstening
politic” atau politik yang menunjang Kristenisasi di Indonesia.[3]
Dari sinilah umat Islam menganggap bahwa Kristen adalah agama penjajah, yaitu
musuh yang tidak boleh dikompromi. Presuposisi yang salah ini masih terbawa
sampai dengan sekarang ini membuat umat muslim Indonesia menganggap bahwa
Kristen adalah musuh mereka. beberapa kali Indonesia menghadapi
kelompok-kelompok Islam radikal yang ingin mengubah dan menggantikan Pancasila
dengan ajaran Islam. Sebut saja Kahar Muzakar dengan Darul Islam-nya (DI) yang
sempat memproklamasikan negara Islam, namun akhirnya ditangkap dan ditembak
mati pada tahun 1962. Sampai saat ini, usaha-usaha kaum fundamentalis Islam
yang ingin menghilangkan Pancasila itu belum padam. Berbagai usaha mereka
lakukan sebagai perjuangan untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara
yang berazaskan keislaman. Hal ini membuat suatu jarak yang lebar antara Islam
dan Kristen di tanah air, disusul serangkaian aksi terrorisme, pengrusakan
rumah-rumah ibadah serta penindasan-penindasan umat kristiani untuk
melaksanakan hak sebagai warga negara.
III. LATAR BELAKANG DAN
SEJARAH KRISTEN INDONESIA
Agama Kristen hadir di Indonesia melalui
orang-orang Eropa yang terhimpun dalam Verenidge
Oost Indische Companieg (VOC), yaitu pedagang-pedagang Belanda yang datang
ke Indonesia dengan motto 3G (Gold, Glory, and Gospel).
Pada hakekatnya VOC adalah badan
perdagangan namun tidak dapat disangkali bahwa ia juga merupakan “pemerintah
Kristen” yang mempunyai kekuasaan politik seperti mengatur uang, mengadakan
senjata dan merekrut tentara. VOC mempunyai kewajiban agama karena diwajibkan
oleh pemerintah Belanda, sehingga rakyat Indonesia diajarkan tentang
nilai-nilai kekristenan. Namun tentu saja cara-cara VOC untuk menyebarkan agama
Kristen itu bukan tanpa hambatan, karena rakyat sendiri pun yang pada waktu itu
sudah beragama Islam ikut memberontak. Sebelumnya bangsa Portugis juga telah
menyiarkan agama Katholik di Indonesia, terutama di daerah Ambon (sekarang
Maluku), namun ketika VOC datang ke Indonesia dan merebut kekuasaan Portugis di
Ambon sehingga pada waktu itu orang-orang Katolik di paksa untuk menjadi
Protestan sesuai dengan agama Belanda.
Kristen Protestan berkembang
di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16.
Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik yang telah terlebih dahulu ada,
dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di
Indonesia. Agama Kristen berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang
ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di
Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
Selain VOC ada pula penyebaran agama
Kristen oleh orang awam biasa yang sama sekali lepas dari VOC, Pemerintah
Hindia-Belanda, maupun kelompok misi pekabaran injil. Contohnya seperti yang
dilakukan oleh seorang yang bernama Johanes Emde di daerah Surabaya dan seorang
pemilik perkebunan bernama Tuan Coolen di Ngoro Jawa Timur, yang menjadi cikal
bakal berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), dan masih ada orang-orang
lain yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di Indonesia. Kristen menjadi
satu agama yang dianut oleh rakyat di beberapa daerah seperti Sulawesi Utara,
Sumatera Utara dan Maluku.
IV. HUBUNGAN
ISLAM DAN KRISTEN
Ada beban sejarah yang
dipikul baik oleh umat Islam maupun umat Kristen. Walaupun pada zaman kolonial
pemerintah Belanda lama sekali mengambil sikap netral terhadap agama-agama,
namun dengan diterapkannya kebijakan dan politis etis pada awal abad ke-20, di
bawah Gubernur Jenderal Idenburg, terdapat kecenderungan untuk lebih memberi
peluang kepada umat Kristen khususnya di daerah-daerah tertentu. Tentu saja ini
menyebabkan kecemburuan umat Islam
terhadap umat Kristen yang hingga kini menjadi beban historis. Latar belakang historis ini telah
mengakibatkan kendala-kendala sosiologis dan psikologis dalam hubungan antar
umat Islam dan umat Kristen di Indonesia. Yaitu orang-orang muslim menyatakan
bahwa agama Kristen adalah agama barat dan Kristen adalah agama penjajah, serta
orang-orang Kristen dianggap sebagai “kaki-tangan” dari Penjajah Belanda, atau
pro Belanda, Imperialisme dan Kolonialisme. Celakanya adalah bahwa ada
orang-orang Kristen yang memang menunjukan
gaya hidup Barat sebagai “kiblat” dari lifestyle kehidupannya. Sebaliknya, orang-orang Kristen memandang
agama Islam sebagai agama dengan budaya Arab, sehingga orang muslim dianggap
sebagai “plagiat” Arab dengan gaya hidup yang “ke Arab-araban”. Selain itu
citra muslim dirusak oleh kaum muslim garis keras, yang akhir-akhir ini melakukan
aksi teroris di negara Indonesia yang menyerukan motto: Anti Kekafiran budaya
barat, dalam hal ini muslim menganggap bahwa orang-orang Kristen sebagai orang
kafir yang menganut paham dan agama yang sama dengan orang-orang Barat, di
tambah lagi dengan aksi-aksi Ormas-Ormas Islam yang melakukan kekerasan
terhadap masyarakat dalam penanggulangan masalah-masalah moral bangsa yang semestinya bisa
diselesaikan dengan cara yang lebih demokratis, membuat orang-orang Kristen
menganggap bahwa Islam sebagai agama yang suka kekerasan dan agama teroris. Hal
ini membuat jarak yang lebar antara Islam dan Kristen di Indonesia sehingga
kerukunan itu sudah mulai merosot, dan membuat satu jurang yang dalam antara
Umat Islam dan Kristen.
V. SOLUSI PENDEKATAN
Kerukunan
antar umat beragama di Indonesia khususnya agama Islam dan agama Kristen perlu
dijaga demi kelangsungan kehidupan serta kesatuan bangsa ini. Kerukunan dan kebebasan,
artinya keseimbangan yang dinamis antara kerukunan dan kebebasan. Bagaimanakah
tanggung jawab kita sebagai orang Kristen dalam mewujudkan kerukunan di Negara
Indonesia ini? Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:
a. Masing-masing
dari kita harus menyadari bahwa sesungguhnya dasar Negara kita adalah
Pancasila, sehingga menyadari bahwa Negara Indonesia bukanlah Negara yang
berlandaskan satu agama tertentu. Untuk keluar dari lingkaran setan yang
membelenggunya ini, kedua umat harus kembali kepada akar-akar pokoknya.
Pertama-tama tentu saja akar pokok ajaran dasar agama tersebut dan kedua adalah
akar pokok budaya Indonesia.[4]
b. Dialog
adalah satu jalan yang bisa ditempuh oleh masyarakat dalam menjalankan
kerukunan di Negara Indonesia, saling berbagi dan mengetahui serta menyadari
bahwa agama adalah anugerah yang Tuhan berikan bagi manusia. Melalui dialog,
menyadarkan umat baik Islam maupun Kristen bahwa Kitab Suci merupakan wahyu
yang diberikan Allah kepada manusia, artinya bahwa Kitab Suci bukan hasil dari
pikiran manusia saja. Sehingga masing-masing menganggap bahwa semua ajaran baik
Islam maupun Kristen adalah berasal dari Allah.
c. Mengembangkan
sikap keterbukaan adalah penting, sebab akan dijadikan modal awal dan model
kehidupan yang harmonis bagi masyarakat dalam membangun kehidupan beragama yang
baik.
d. Sebagai
orang Indonesia yang lahir dan besar dalam bangsa yang menjunjung tinggi
toleransi, sudah sepantasnya kita harus menumbuhkan rasa saling menghormati dan
menghargai sebagai warga Negara yang hak dan kebebasannya di atur dalam
Undang-Undang Dasar (UUD). Keharmonisan toleransi beragama antara Islam dan
Kristen tidak hanya digalakan sebatas para pimpinan umat, tetapi harus
berlangsung sampai kepada masyarakat akar rumput tanpa terkecuali bagi
penganut-penganutnya, sesuai keyakinan dari agama yang telah dianut oleh setiap
golongan agama.[5]
VI. KESIMPULAN
Sudah
menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
untuk tetap menjaga kerukunan antar umat beragama khususnya agama Islam dan
Kristen. Pluralitas adalah konteks Indonesia yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sebagai orang Kristen kita harus berpandangan bahwa kerukunan bukan
hanya sekedar mempunyai tujuan praktis, tetapi lebih daripada itu harus berakar
dalam keyakinan Kristen. Alkitab menegaskan bahwa “Allah itu baik bagi semua
orang” (Mzm 145:9), ini berarti kita harus melihat bahwa Allah adalah Tuhan
bagi semua orang. Dalam doa-Nya Yesus berkata: “Supaya mereka semua menjadi
satu, sama seperti Engkau,ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau”.
(Yoh.17:21). Hal ini menunjukan bahwa ada persekutuan yang erat di dalam Allah
Tritunggal atas dasar kasih. Sehingga konsep persaudaraan sebagai manusia yang
memiliki citra Allah harus kita laksanakan untuk memupuk rasa menghargai,
menghormati, dan saling menerima perbedaan sebagai mahkluk yang sama-sama
diciptakan Allah. Sebagaimana Allah Tritunggal yang hidup dalam persekutuan
yang erat atas dasar kasih maka sepantasnya hal ini juga tercermin dalam
relasi-relasi orang Kristen dengan sesamanya. Di sanalah kita memperoleh
teladan dan sekaligus kekuatan untuk mempraktikan kerukunan antar-sesama
manusia tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.[6]
[1] Bambang Ruseno Utomo,
Hidup Bersama di Bumi Pancasila,
Pusat Studi Kebudayaan, Malang, 1993, hal.2
[2] Ibid.,hal.28
[3] Ibid.,hal.44
[4] Ibid.,hal.262
[5] J.F. Onim, Islam dan Kristen
di Tanah Papua, Jurnal Info Media, 2006, hal.207
[6] A.A. Yewangoe, Agama dan
Kerukunan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, hal.105
Komentar
Posting Komentar